Max Weber masih berada di alam idealisme saat dia menulis Politics as a Vocation
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
Di
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
Dapat
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
Hampir
seabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136). Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1658/Pragmatisme-Politik-dan-Revolusi-Sibernetika#sthash.0Xyi0UgD.dpuf
Max Weber masih berada di alam idealisme saat dia menulis Politics as a Vocation
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
Di
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
Dapat
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
Hampir
seabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136). Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1658/Pragmatisme-Politik-dan-Revolusi-Sibernetika#sthash.0Xyi0UgD.dpufseabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136). Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
Max Weber masih berada di alam idealisme saat dia menulis Politics as a Vocation
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
Di
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
Dapat
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
Hampir
seabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136). Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1658/Pragmatisme-Politik-dan-Revolusi-Sibernetika#sthash.0Xyi0UgD.dpuf
Max Weber masih berada di alam idealisme saat dia menulis Politics as a Vocation
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
Di
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
Dapat
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
Hampir
seabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136). Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1658/Pragmatisme-Politik-dan-Revolusi-Sibernetika#sthash.0Xyi0UgD.dpufseabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136). Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.