“Lebih
cepat lebih baik” adalah semboyan yang lekat dengan Wakil Presiden
Jusuf Kalla. Dari sisi manajemen konflik, prinsip tersebut bisa
memangkas risiko perluasan krisis dan dampaknya. Penanganan yang lebih
dini akan menutup peluang akumulasi unsur dan kepentingan yang terkait
dalam suatu problem. Efisiensi dan efektivitas dalam menangani
persoalan juga menjadi poin positif dari langkah cepat tersebut.
Dari sisi dramaturgi, rentetan masalah akan menempatkan lakon pada point of no return
atau klimaks. Pada tahap ini, ketegangan harus dihadapi dan ditangani,
tak ada opsi lain. Penanganan pada puncak persoalan atau catastasis akan
menentukan akhir drama. Tentunya penanganan yang cepat, tepat atau
efisien dan efektif akan menentukan apakah konflik yang terjadi akan
berakhir manis atau tragis.
Tantangan penanganan konflik atau rentetan plot epitatio
(komplikasi masalah) tengah dihadapi pemerintahan Jokowi-JK. Usai
memenangkan pilihan rakyat dalam Pilpres 2014, Jokowi-JK mendapatkan
tugas untuk menjalankan roda pemerintahan. Untuk itu, Jokowi perlu
menentukan deputi-deputi yang layak memimpin tiap kementerian dan
lembaga serta organ pendukung pemerintahan lainnya.
Sejak
awal, Jokowi telah menyatakan anggota kabinet dan jajaran pendukung
pemerintahan akan ditempati figur-figur yang profesional dan bersih,
suatu pilihan ideal yang diinginkan publik. Namun, realitas politik
menyajikan tantangan baru. Sebagai pemimpin politik, Jokowi perlu
mengakomodasi kepentingan elit politik demi langgengnya pemerintahan.
Solusi awalnya sudah mulai terakomodasi saat keluar formula 18:16 untuk
susunan kabinet dari Rumah Transisi. 18 menteri adalah sosok
profesional murni, sedangkan 16 adalah jumlah perwakilan dari
profesional partai politik.
Dinamika
konflik belum usai dengan formula 18:16. Kondisi di parlemen
menunjukkan lemahnya dukungan politik bagi pemerintahan Jokowi-JK.
Komunikasi politik harus dijalani keduanya dengan pihak oposisi, yaitu
Koalisi Merah Putih (KMP). Tentu saja komunikasi tersebut berintensi
adanya kesepahaman yang mengandaikan poin-poin kesepakatan tertentu,
termasuk kerangka pemerintahan yang bisa diterima kedua belah pihak.
Imbasnya, bukan hanya kepentingan parpol pendukung yang harus
diakomodasi Jokowi – JK, tetapi juga urusan kompromi dengan KMP harus
diperhitungkan. Rapor "merah-kuning" dari KPK menjadi pertimbangan
tersendiri.
Point of no return
dari akumulasi kepentingan tersebut adalah pengumuman kabinet. Rakyat
menunggu sosok-sosok terbaik untuk setiap posisi pemerintahan. Parpol
menantikan “keterwakilan” sumbangsih mereka bagi pemenangan Jokowi-JK.
Demikian pula sekoci-sekoci atau kelompok-kelompok masyarakat pendukung
keduanya berharap dukungan mereka dapat “diserap” Jokowi melalui figur
tertentu. Hal yang sama berlaku bagi KMP, meskipun melalui lingkaran
akses yang lebih panjang. Belum lagi hitungan kriteria utama yang patok
Jokowi: bersih dan profesional.
Jokowi
menyadari semua kepentingan dan kriteria di atas perlu terakomodasi.
Upaya akomodasi kepentingan juga menjadi arena konfliktual. Konflik
kepentingan tentu akan terus meninggi sejalan bertimbunnya faktor
pertimbangan. Benturan, gesekan hingga pertautan antarkepentingan
berpotensi terjadi dalam rupa polarisasi maupun irisan yang terbentuk.
Waktu keputusan akan menentukan dalam manajemen konflik saat ini. Dalam
tataran pertautan kepentingan, tahapan pengumuman anggota kabinet
merupakan klimaks dari pertautan kepentingan.
Jokowi
tentunya menyadari bahwa klimaks yang dibiarkan berlangsung lama akan
menciptakan beban yang lebih berat dalam pengambilan keputusan.
Ibaratnya, Jokowi membiarkan bola panas terus bergulir di sekeliling
dirinya dalam waktu yang lama akibat terus menunda pengumuman susunan
kabinet. Tentu saja, klimaks tersebut bisa berdampak buruk bagi dirinya.
Kepentingan-kepentingan yang meluas akan juga berakrobat dan
berpolarisasi mencari jalan menuju kekuasaan. Waktu yang lebih panjang
bagi akorbat politik tentu saja berpotensi destruktif.
Jokowi,
sebagaimana JK, dikenal sebagai seorang eksekutor, seorang pekerja. Dia
tentu sadar, arsitektur kabinet memiliki prioritas mendukung kerja
cepatnya. Akomodasi kepentingan adalah prioritas kedua. Karena itu,
Jokowi tak perlu membiarkan bola panas terus mengitari dirinya.
Pengumuman nama-nama menteri tidak perlu ditunda hingga pekan depan.
Citranya sebagai eksekutor dan pengambil keputusan cepat akan ternoda.
Selain itu, membiarkan bola panas semakin membesar akibat pembiaran sama
artinya menyiapkan bara ketidakpuasan menggeliat terlalu dini. Jokowi
tak boleh membiarkan klimaks awal ini menyandera dirinya. Jangan biarkan
pengumuman nama menteri yang merupakan langkah awal pemerintahan
Jokowi-JK justru menjadi bola liar akibat panjangnya waktu yang tersedia
untuk manuver-manuver politik pihak-pihak terkait.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1696/Bola-Liar-Kabinet#sthash.8t8Yeglk.dpuf