Kamis, 12 November 2015
Menanti Paket Kebijakan Ekonomi Tepat Sasar
Kepercayaan adalah unsur penting dalam relasi sosial, tak terkecuali dalam konteks perilaku ekonomi. Faktor penentu berputarnya ekonomi pasar tidak hanya terletak pada ada tidaknya uang atau capital, tetapi juga kepercayaan.
Fakta inilah yang tersurat dari fenomena "capital flight" dan penurunan nilai tukar rupiah. Pasar dalam negeri tidak lagi meyakinkan investor untuk melakukan penanaman modal di beberapa sektor. Kebijakan ekonomi pun dinilai belum memuaskan para pelaku ekonomi. Di tengah gejolak ekonomi global yang merambat ke Indonesia, para penanam modal pun kemudian mencari jalan aman, jalur yang lebih bisa memberikan jaminan kepercayaan bagi modalnya. Imbasnya juga berpengaruh ke nilai tukar rupiah.
“Yang kurang saat ini sebenarnya soal ‘trust and confidence’. Karena itu, penting bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan trust dan confidence,” tandas Rosan Roeslani, Wakil Ketua Umum Bidang Perbankan & Finansial Kamar Dagang & Industri (Kadin) Indonesia di Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara) belum lama ini.
Tambahan pula, dengan semakin banyaknya perusahaan yang gulung tikar dan tenaga kerja yang di-PHK, kepercayaan kepada perekonomian nasional akan ikut menipis. Dalam pandangan Rosan, kebijakan yang tepat sasar akan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintah. Karena itu, mari kita nantikan paket-paket kebijakan pemerintah berikutnya.
Selasa, 25 November 2014
Bola Liar Kabinet
“Lebih
cepat lebih baik” adalah semboyan yang lekat dengan Wakil Presiden
Jusuf Kalla. Dari sisi manajemen konflik, prinsip tersebut bisa
memangkas risiko perluasan krisis dan dampaknya. Penanganan yang lebih
dini akan menutup peluang akumulasi unsur dan kepentingan yang terkait
dalam suatu problem. Efisiensi dan efektivitas dalam menangani
persoalan juga menjadi poin positif dari langkah cepat tersebut.
Dari sisi dramaturgi, rentetan masalah akan menempatkan lakon pada point of no return
atau klimaks. Pada tahap ini, ketegangan harus dihadapi dan ditangani,
tak ada opsi lain. Penanganan pada puncak persoalan atau catastasis akan
menentukan akhir drama. Tentunya penanganan yang cepat, tepat atau
efisien dan efektif akan menentukan apakah konflik yang terjadi akan
berakhir manis atau tragis.
Tantangan penanganan konflik atau rentetan plot epitatio
(komplikasi masalah) tengah dihadapi pemerintahan Jokowi-JK. Usai
memenangkan pilihan rakyat dalam Pilpres 2014, Jokowi-JK mendapatkan
tugas untuk menjalankan roda pemerintahan. Untuk itu, Jokowi perlu
menentukan deputi-deputi yang layak memimpin tiap kementerian dan
lembaga serta organ pendukung pemerintahan lainnya.
Sejak
awal, Jokowi telah menyatakan anggota kabinet dan jajaran pendukung
pemerintahan akan ditempati figur-figur yang profesional dan bersih,
suatu pilihan ideal yang diinginkan publik. Namun, realitas politik
menyajikan tantangan baru. Sebagai pemimpin politik, Jokowi perlu
mengakomodasi kepentingan elit politik demi langgengnya pemerintahan.
Solusi awalnya sudah mulai terakomodasi saat keluar formula 18:16 untuk
susunan kabinet dari Rumah Transisi. 18 menteri adalah sosok
profesional murni, sedangkan 16 adalah jumlah perwakilan dari
profesional partai politik.
Dinamika
konflik belum usai dengan formula 18:16. Kondisi di parlemen
menunjukkan lemahnya dukungan politik bagi pemerintahan Jokowi-JK.
Komunikasi politik harus dijalani keduanya dengan pihak oposisi, yaitu
Koalisi Merah Putih (KMP). Tentu saja komunikasi tersebut berintensi
adanya kesepahaman yang mengandaikan poin-poin kesepakatan tertentu,
termasuk kerangka pemerintahan yang bisa diterima kedua belah pihak.
Imbasnya, bukan hanya kepentingan parpol pendukung yang harus
diakomodasi Jokowi – JK, tetapi juga urusan kompromi dengan KMP harus
diperhitungkan. Rapor "merah-kuning" dari KPK menjadi pertimbangan
tersendiri.
Point of no return
dari akumulasi kepentingan tersebut adalah pengumuman kabinet. Rakyat
menunggu sosok-sosok terbaik untuk setiap posisi pemerintahan. Parpol
menantikan “keterwakilan” sumbangsih mereka bagi pemenangan Jokowi-JK.
Demikian pula sekoci-sekoci atau kelompok-kelompok masyarakat pendukung
keduanya berharap dukungan mereka dapat “diserap” Jokowi melalui figur
tertentu. Hal yang sama berlaku bagi KMP, meskipun melalui lingkaran
akses yang lebih panjang. Belum lagi hitungan kriteria utama yang patok
Jokowi: bersih dan profesional.
Jokowi
menyadari semua kepentingan dan kriteria di atas perlu terakomodasi.
Upaya akomodasi kepentingan juga menjadi arena konfliktual. Konflik
kepentingan tentu akan terus meninggi sejalan bertimbunnya faktor
pertimbangan. Benturan, gesekan hingga pertautan antarkepentingan
berpotensi terjadi dalam rupa polarisasi maupun irisan yang terbentuk.
Waktu keputusan akan menentukan dalam manajemen konflik saat ini. Dalam
tataran pertautan kepentingan, tahapan pengumuman anggota kabinet
merupakan klimaks dari pertautan kepentingan.
Jokowi
tentunya menyadari bahwa klimaks yang dibiarkan berlangsung lama akan
menciptakan beban yang lebih berat dalam pengambilan keputusan.
Ibaratnya, Jokowi membiarkan bola panas terus bergulir di sekeliling
dirinya dalam waktu yang lama akibat terus menunda pengumuman susunan
kabinet. Tentu saja, klimaks tersebut bisa berdampak buruk bagi dirinya.
Kepentingan-kepentingan yang meluas akan juga berakrobat dan
berpolarisasi mencari jalan menuju kekuasaan. Waktu yang lebih panjang
bagi akorbat politik tentu saja berpotensi destruktif.
Jokowi,
sebagaimana JK, dikenal sebagai seorang eksekutor, seorang pekerja. Dia
tentu sadar, arsitektur kabinet memiliki prioritas mendukung kerja
cepatnya. Akomodasi kepentingan adalah prioritas kedua. Karena itu,
Jokowi tak perlu membiarkan bola panas terus mengitari dirinya.
Pengumuman nama-nama menteri tidak perlu ditunda hingga pekan depan.
Citranya sebagai eksekutor dan pengambil keputusan cepat akan ternoda.
Selain itu, membiarkan bola panas semakin membesar akibat pembiaran sama
artinya menyiapkan bara ketidakpuasan menggeliat terlalu dini. Jokowi
tak boleh membiarkan klimaks awal ini menyandera dirinya. Jangan biarkan
pengumuman nama menteri yang merupakan langkah awal pemerintahan
Jokowi-JK justru menjadi bola liar akibat panjangnya waktu yang tersedia
untuk manuver-manuver politik pihak-pihak terkait.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1696/Bola-Liar-Kabinet#sthash.8t8Yeglk.dpufPelantikan Jokowi-JK dalam Sorotan Media Internasional
Pelantikan
Joko Widodo – Jusuf Kalla sebagai Presiden-Wakil Presiden RI mendapat perhatian
luas dunia internasional. Hal itu dibuktikan dengan massifnya pemberitaan media
global terkait suksesi kepemimpinan di negara demokrasi terbesar ketiga di
dunia ini. Sejumlah media besar tak hanya menyajikan artikel berita singkat,
tapi juga dilengkapi artikel analisa singkat atas kepemimpinan baru RI.
Reuters
melansir dua artikel khusus. Artikel
pertama terkait pelantikan presiden baru Indonesia dan
dampak positif langsung pada indeks harga saham gabungan Indonesia. Artikel ini
dilengkapi rekaman video acara pengambilan sumpah Jokowi. Artikel kedua Reuters
menyoroti Jokowi sebagai sosok pembaharu yang mendapat sambutan positif publik.
Namun, Reuters juga menyoroti sisi lemah Jokowi pada pengaruhnya pada lingkaran
elit politik. Artikel
ini dilengkapi video pertemuan Jokowi-John Kerry.
CNN Internasional
pun menghadirkan dua berita video terkait pelantikan Jokowi sebagai presiden.
Pengambilan sumpah presiden disiarkan
secara live oleh CNN. Pada tayangan video kedua, CNN
sebagai media news terbesar di dunia menjelaskan siapa Jokowi, Presiden RI
ke-7. Jokowi
disebut sebagai presiden yang tidak lazim (unconventional
president). Dia tidak berasal dari lingkaran elit politik, tidak ada hubungan
langsung dengan era Soeharto, dan menyukai musik cadas. CNN juga menyoroti
tantangan utama Jokowi, yakni dari parlemen. Hal itu ditunjukkan oleh reportase
langsung dengan latar belakang gedung MPR – DPR Senayan, Jakarta.
The
Associated Press (AP) menyoroti pelantikan Jokowi dari sisi
latar belakangnya sebagai tokoh yang lahir dari luar lingkaran elit politik dan
militer. AP memulai ulasan artikel pelantikan Jokowi-JK dengan mengulas asal
Jokowi dari gubuk di bantaran sungai Bengawan Solo. Artikel ini dilengkapi sejumlah
foto terkait, mulai dari kirab Jokowi-JK,
pertemuan dengan John Kerry hingga kehadiran Jokowi dalam pesta rakyat di Monas.
AP juga melansir artikel khusus tentang tantangan awal kepemimpinan Jokowi,
yakni pertumbuhan ekonomi yang melambat dan pilihan untuk menaikkan harga BBM.
Artikel lainnya dari AP fokus pada kehadiran John Kerry dalam acara pelantikan
Jokowi-JK dan materi yang dibicarakan dalam pertemuan keduanya.
L'Agence France-Presse
(AFP) melansir tiga artikel mengenai pelantikan Jokowi.
Jokowi juga diulas sebagai pemimpin Indonesia pertama yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan era
Soeharto serta tidak memiliki akar elit
politik maupun militer. Namun, AFP juga mengangkat persoalan yang segera
dihadapi Jokowi, yaitu pertumbuhan ekonomi berada pada
titik terendah dalam lima tahun terakhir, perilaku
korupsi di kalangan pejabat, dan pertumbuhan gerakan radikal.
Tiga media utama dunia lainnya, BBC, Times, dan Huffington Post (jurnalisme
warga) turut memantau perkembangan politik terbaru Tanah Air. BBC antara lain
mengangkat komentar rakyat yang menyukuri transisi kekuasaan kali ini
berlangsung damai, tanpa pertumpahan darah.
Sementara itu, Time yang sebelumnya memajang foto Jokowi sebagai cover majalah,
mengangkat tantangan-tantangan yang akan dihadapi Jokowi sebagai pemimpin baru
Indonesia. Lima
tantangan yang diulas adalah dukungan politik di parlemen,
perlambatan ekonomi, radikalisme agama, pemerintahan yang bersih, dan hubungan
antaretnis. Tantangan yang akan dihadapi Jokowi juga diulas The Huffington
Post, terutama untuk berkomunikasi dengan koalisi
politik yang dipimpin Prabowo, rivalnya dalam Pilpres lalu.
Beberapa media berpengaruh di negara masing-masing ikut
mengulas pelantikan Jokowi-JK. New York Times
(NYTimes) mengangkat pidato Jokowi yang ingin menjadi kekuatan
maritim dunia. Artikel ini diletakkan sebagai
sorotan khusus hari Senin (20/10). Dari Inggris, Guardian melansir artikel
tentang Jokowi sebagai sosok pemimpin unik. Jokowi
versi Guardian memiliki kemiripan dengan mantan Presiden AS Bill Clinton.
Guardian juga menggarisbawahi bahwa Jokowi sebagai pemimpin baru negara besar
dunia akan menjadi sorotan
internasional dalam beberapa pekan mendatang, terutama saat
berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pasifik di Beijing dan KTT
G-20 di Australia. Media utama Ibu Kota AS, Washington
Post menyajikan reportase yang lebih lengkap tentang
pemimpin baru RI. Sebanyak dua tiga artikel dan dua tayangan video dilansir
untuk menyoroti suksesi pemerintahan Indonesia. Tak
lupa diulas misi yang dibawa John Kerry ke Indonesia dan
yang disampaikan saat pertemuan dengan Jokowi.
Dari Afrika Selatan, IOL News
memberitakan sambutan meriah ribuan warga yang berjejer di pinggir jalan
Jakarta untuk menyambut Jokowi-JK usai pelantikan. Jokowi disebut sebagai
pemimpin yang dekat dengan rakyat namun masih lemah dalam pengaruh
ke lingkaran elit politik negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di
dunia. Sedangkan, media Australia
mengutip pernyataan Perdana Menteri Tony Abbott yang menyebut Jokowi
sebagai pemimpin karismatik.
Media terbesar di Amerika Selatan, Globo (Brasil), ikut
mengulas kehadiran pemerintahan baru di Indonesia. Melalui kanal tv, GloboTv,
media menggambarkan Jokowi sebagai sosok yang dekat dan memiliki perhatian
pada masyarakat kecil.
Kawasan Asia ikut menyambut pelantikan Jokowi. China
Daily mengulas kehadiran beberapa petinggi negara sahabat
dalam pelantikan Jokowi-JK serta konsep Trisakti dalam pidato Jokowi. Media
terdepan Asia, Al Jazeera
ikut menampilkan artikel yang dilengkapi tayangan video tentang pelantikan Joko
Widodo-Jusuf Kalla. Jokowi, eks pebisnis mebel, diperkirakan akan menghadapi
tantangan karena tidak memiliki akar
politik kuat. Al Jazeera juga mengangkat pelantikan
Jokowi-JK sebagai pesta rakyat. Dua media besar di Asia, Asahi
Shimbun (Jepang) dan Times
of India ikut mengulas suksesi kepemimpinan di Indonesia.
Dari negeri jiran, Singapura, Strait
Times menggarisbawahi lima tantangan yang dihadapi
Jokowi-JK usai dilantik. Kelima tantangan tersebut adalah, lemahnya dukungan
parlemen, pemerintahan yang bersih dan efisien, penyeimbangan anggaran dan
pengurangan subsidi, ancaman gerakan radikal kanan, serta endemik korupsi yang
masih sulit ditangani. Sementara Kantor Berita Malaysia, Bernama, menyajikan ulasan yang
paling banyak. Pada berita utama, Bernama
secara khusus menilai kata “kerja” yang beberapa kali
diulang Jokowi dalam pidatonya sebagai komitmen yang hendak dilaksanakan di era
kepemimpinannya. Artikel lain bernama menyajikan sorotan utama pada hubungan
kedua negara dan rencana kunjungan Jokowi ke Malaysia.
Jumat, 21 November 2014
Hugua, Menduniakan Wakatobi
Wakatobi adalah kawasan kepulauan di tenggara Sulawesi yang menyimpan potensi kekayaan biota laut unggulan. Potensi biodiversity terumbu karang dan ikan perairan Wakatobi lama terendap tak tergarap hingga munculnya figur Hugua sebagai pemimpin wilayah itu pada tahun 2006. Perlahan namun pasti, wisata bawah air dan infrastruktur pendukung dikelola Hugua, beriringan dengan upaya total mempromosikan Wakatobi ke level dunia. Hasilnya, nama Wakatobi menjadi salah satu target utama pecinta wisata bahari dunia saat ini. Level kesejahteraan masyarakat pun perlahan meningkat berkat upaya Hugua untuk menyelaraskan menduniakan potensi wisata dengan keanekaragaman budaya lokal.
Kamis, 09 Oktober 2014
Pragmatisme Politik dan Revolusi Sibernetika
Pragmatisme Politik dan Revolusi Sibernetika
Max Weber masih berada di alam idealisme saat dia menulis Politics as a Vocation
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
Di
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
Dapat
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
Hampir
seabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136). Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1658/Pragmatisme-Politik-dan-Revolusi-Sibernetika#sthash.0Xyi0UgD.dpuf
Max Weber masih berada di alam idealisme saat dia menulis Politics as a Vocation
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
Di
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
Dapat
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
Hampir
seabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136). Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1658/Pragmatisme-Politik-dan-Revolusi-Sibernetika#sthash.0Xyi0UgD.dpufseabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136). Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
Max Weber masih berada di alam idealisme saat dia menulis Politics as a Vocation
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
Di
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
Dapat
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
Hampir
seabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136). Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1658/Pragmatisme-Politik-dan-Revolusi-Sibernetika#sthash.0Xyi0UgD.dpuf
Max Weber masih berada di alam idealisme saat dia menulis Politics as a Vocation
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
Di
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
Dapat
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
Hampir
seabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136). Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1658/Pragmatisme-Politik-dan-Revolusi-Sibernetika#sthash.0Xyi0UgD.dpufseabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136). Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
Langganan:
Postingan (Atom)