Selasa, 06 Oktober 2009

Two Faces of Ace, the Smooth Criminal

Ia memperkenalkan dirinya sebagai Azis. Penampilan stylish dan berkelas yang dimilikinya bisa membuat orang berpikir si pemuda asal sebuah daerah di Sumatera ini termasuk golongan eksekutif muda atawa eksmud. Aku pun bisa tertipu seandainya pertemuan pertama dengannya tidak terjadi saat menumpang sebuah angkot dari arah Senen dan jika aku tidak menyimak sekilas tempat tongkrongan yang menjadi tujuannya: sudut sebuah terminal di mana sekelompok pemuda tanggung tengah bercengkerama.

Kala itu, sebuah ponsel jenis communicator diutak-atiknya sambil memangku tas laptop jinjing. Jarum jam arlojiku menunjukkan jam 2.30 dinihari. Untuk kesekian kalinya saya melirik pemuda itu. Penampilan dan tentengannya sungguh mengundang aksi kekerasan. Namun, tak ada gurat kecemasan di wajahnya akan ancaman kriminalitas Ibukota. Apakah ia orang baru di rimba Jakarta? Atau mungkin saja ia sudah terbiasa dengan situasi berisiko ini hingga ia merasa begitu nyaman dan aman? demikian aku membatin waktu itu. Ternyata dugaan kedualah yang benar. Ia sudah biasa pulang kerja di saat sebagian besar warga Jakarta telah terlelap.

Ace, begitu teman-teman menyebutnya, sehari-hari lebih sering berada di kawasan pusat perbelanjaan, terutama Atrium Senen dan sejumlah mal di wilayah Mangga Dua. Di situlah ia berkantor atau lebih tepatnya beroperasi. Tuntutan profesi, demikian frase normatif kalangan professional, mengharuskannya selalu tampil necis. Saban hari Ace harus menjalin hubungan kerjasama dengan orang-orang yang ia temui di pusat-pusat perbelanjaan yang menunjukkan sikap kooperatif.

Tentunya dia tidak asal memilih. Seperti staf marketing berpengalaman, ia telah menentukan target dan prioritas berdasarkan logika berpikir sederhana yang tak perlu dibentuk dengan menyelesaikan pendidikan hingga level S-1. Asupan pengalaman keseharian mengajarkannya satu-dua pelajaran berharga: pertama, penampilan dan peluang adalah dua hal yang kerapkali sinkron di Jakarta atau bahkan di jagad ini; kedua, manusia kerap mempermainkan atau dipermainkan perasaannya.

Berbekal penampilan, Ace memperhatikan dengan seksama setiap pengunjung. Lokasi monitoring-nya bisa di area parkir, sekitar ATM, hingga tempat makan kalangan berduit. Meskipun kadang ada begitu banyak pengunjung, menurutnya, sasarannya gampang terseleksi oleh matanya yang telah terlatih. Mereka adalah orang-orang berkantong tebal, yang memandang dompetnya dari sisi harganya dan bukan dari nilai isinya, yang melihat aspek fisik suatu barang tanpa mempertimbangkan aspek fungsionalitasnya. Targetnya adalah mereka yang menilai orang lain, termasuk ancaman kriminalitas, dari penampilan fisik. Mereka adalah orang-orang yang tak akan peduli saat dipepet rapat oleh orang yang berpakaian parlente. Mereka adalah orang-orang yang tidak akan menggubris, apalagi curiga, kala sedikit tersenggol oleh orang berpenampilan eksmud. Itulah sasarannya. Merekalah obyeknya, orang-orang yang bisa diajak bekerja sama dengan membiarkan dompet, tas tangan, dan tentengannya terlihat menarik di mata orang lain tanpa sikap awas bin waspada. Itulah kelengahan khas orang berpunya yang oleh Ace diartikan sebagai sikap kooperatif. Saat itulah sinkronisasi peluang dan penampilan diolahnya. Menenteng tas laptop sambil berjalan cepat dengan gaya khas kaum sibuk, ia bergerak membuntuti mangsanya. Saat posisi cukup rapat, kelihaian tangannya dimanfaatkan. Dan, gotcha, dompet pun telah beralih tempat. Selanjutnya, ia pun terus bergegas melangkah meninggalkan korban.

Azis alias Ace adalah pencopet. Ia pencopet yang smart. Pencopet kan manusia juga, bukan hanya dalam arti nilai rasa, tapi juga dalam arti daya nalar. Ia bisa memproses logika berpikir dari hasil cerapan indrawi, mengabstraksikan, dan menjadikannya suatu konsepsi, tanpa perlu belajar ilmu psikologi. Lebih-lebih, ia tidak perlu menyelesaikan program pascasarjana untuk menuangkan gagasannya sebagai suatu tesis. Ia telah mempunyai postulat personal yang sifatnya aplikatif. Postulat itulah yang menjadi panduan profesi bahkan hidupnya.

Kelicinan Ace tidak berakhir di situ. Menurutnya, ia tidak hanya lihai mencopet tapi juga pandai menggeletik relung hati seseorang. Itulah yang menjadikannya bukan pencopet biasa. Tidak seperti teman seprofesi lainnya, ia akan berupaya mengembalikan dompet beserta isinya kepada si empunya bila ada rujukan identitas dan alamat yang pasti. Namun bukan lakon pahlawan tanpa imbalan yang hendak diperankannya. Ia justru berupaya merebut kembali hati korban dengan menjadi pahlawan yang akan diberikan apresiasi tak berhingga secara material maupun immaterial.

Kedinamisan diri Ace dituangkannya dalam lakon kedua. Bak bunglon, ia muncul dengan tampilan baru yang kuyu dan tanpa asa saat menjabani kediaman korban. Ia tertawa membayangkan seribu alasan yang dipakai untuk membuat korban jatuh iba. Strateginya selalu sama, ada intro mengenai kisah hidup dan situasi saat itu yang membuat miris dan saat pengembalian barang ia selalu menjelaskan prinsipnya bahwa sesulit apa pun situasinya, menolong sesama tak bernilai bila menuntut imbalan. Dibiarkannya manusia di hadapannya berupaya menyatukan kata hati dan otaknya sejenak. Hasilnya, sebagian besar dari mereka akan memberikan imbalan yang lebih besar, bahkan menjanjikan bantuan lebih lanjut.....ha...ha...ha..., Azis pun tergelak, Mungkin ia hendak menertawakan para korbannya. Tapi, bisa juga ia perasaannya sedang diliputi oleh rasa puas yang membuncah karena kepiawaiannya berlakon.


**************************

Senin, 05 Oktober 2009

Gempa Sumatera Barat: Penguburan Massal, Potensi Gempa Besar Disertai Tsunami

Pemberitaan seputar Gempa Sumatera Barat masih menjadi pilihan sebagian besar media cetak. Proses tanggap darurat, kendala, beserta bantuan dan insentif mengisi sisi liputan. Bantuan yang mengalir cepat dari berbagai pihak belum diimbangi kemampuan distribusi yang efektif dan efisien. Penyaluran bantuan juga belum mempertimbangkan secara bijak skala prioritas kebutuhan korban bencana.

Di sisi lain, menumpuknya tenaga ahli dan sukarelawan dari dalam dan luar negeri belum juga mampu meningkatkan akselerasi proses evakuasi. Kendala beratnya medan dan kerusakan bangunan menjadi handicap yang tak mudah untuk diatasi. Alhasil, penguburan massal menjadi salah satu opsi demi mencegah kemungkinan merebaknya penyakit akibat jenazah yang membusuk.

Sorotan juga masih diarahkan pada dua berita yang sudah diulas pada hari-hari sebelumnya, yakni kesiapsiagaan menghadapi potensi gempa berikutnya, yang diprediksikan berskala lebih besar, serta penanganan terpadu program restrukturisasi yang dirancang pemerintah.

Tekanan akibat rangkaian gempa yang telah terjadi di wilayah itu dikhawatirkan akan memicu lepasnya energi yang lebih besar yang selama ini terkunci di segmen itu (Koran Tempo). Penelitian lebih detil dan koordinasi dengan pemerintah diperlukan demi memastikan keselamatan masyarakat di kawasan tersebut. Sementara itu, dampak gempa terhadap perekonomian nasional menjadi perhatian utama kementerian perekonomian. Lokasi gempa merupakan sentra produksi minyak sawit mentah dan tempat pusat industri batubara, semen, dll. Gangguan terhadap proses produksi di wilayah tersebut dikhawatirkan akan berimbas secara nasional. Pemerintah juga memberikan insentif pajak bagi perusahaan dan perseorangan yang memberikan bantuan gempa Sumbar. Insentif itu berupa pengurangan nilai pendapatan bruto.