Jumat, 22 Januari 2010

Energi Sebuah Getaran Kecil, Profil Ibu Gedong Bagoes Oka

Ia bukanlah seorang tokoh terkenal di Indonesia. Di Tanah Airnya sendiri, ketokohannya mungkin hanya mendapat pengakuan dari sekelompok orang yang punya perhatian dan keprihatinan yang sama dengannya. Apalagi ia seorang perempuan. Posisi dan peran kaum hawa harus diakui belum mendapat ruang yang cukup di negeri kita yang masih dominan dengan warna patriakhalnya. Tetapi tidak demikian di pentas internasional. Berbagai kiprahnya mendapat pengakuan dengan terpilihnya ia sebagai salah seorang presiden (ketua) World Conference on Religion and Peace (WCRP).

Almarhumah Ibu Gedong Bagus Oka (1921-2002), sebuah nama yang mungkin masih asing di telinga kebanyakan kita, sesuatu yang kontras dibandingkan berbagai pandangan positif dan aneka aktivitas yang ia lakukan bagi negeri ini. Tetapi, inilah slaah satu konsekuensi dari pilihan hidupnya untuk tidak mudah tergiur atau sekedar ikut-ikutan dalam gebyar keduniawian.

Gebyar keduniawian? Ya, itulah salah satu pokok keprihatinan Bu Gedong. Kehidupan modern melangkah bersama kecenderungan manusia untuk mengarah pada kepuasan dan kesenangan lahiriah semata. Ia tidak perlu melayangkan pandangannya terlampau jauh. Gugatan keprihatinan muncul dalam kesadaran dan persentuhannya dengan kenyataan di sekitar dirinya sendiri. Bertolak dari situasi kampung halamannya, Bali, yang mulai terkontaminasi efek hedonis Barat yang merusak, Ibu Gedong berniat mengakarkan kembali kaum muda pada jatidiri ke-Bali-an mereka.

Nilai-nilai spiritual yang humanis menjadi pilihannya, Namun, bukan corak ekslusif, sukuis,dan tertutup dari Hindu-Bali yang hendak dikedepankan. Kesejatian ajarannya terletak dalam penghargaan akan kehidupan, alam, dan manusia, pertautan antara makrokosmos dan mikrokosmos sebagai bagian dari diri setiap persona.

Getaran kecil dalam hatinya semakin kuat menuntut perwujudan. Maka, di tengah pro-kontra yang sempat mengkhawatirkannya, Ibu Gedong mendirikan Ashram Candi Dasa di Karangasem, Bali, sebuah ashram yang bercorak Gandhi.

Mohandas Karamjit Gandhi, tokoh yang memperkenalkan Universal Religion (Agama Universal), memang merupakan inspirator tokoh yang meninggal pada Kamis 14/11/02 pada usia 81 tahun ini. Azas Ahimsa sang Mahatma yang antikekerasan, melanggengkan cinta kasih, kebenaran serta kesederhanaan hendak ditanamkannya dalam diri kaum muda. Azas cinta kasih dan kebenaran dicitrakannya dalam konsep pendidikan.

Pendidikan adalah pengembangan seluruh potensi diri seseorang dan bukan hanya sekedar transfer ilmu ataupun proses belajar-mengajar. Mendidik baginya adalah membentuk karakter manusia supaya menjadi seimbang lahir-batin. Harmonisasi tubuh, akal, dan jiwa sebagai unsur hakiki manusia inilah yang merupakan esensi cinta kasih dan kebenaran. Azas ini takkan terwujud tanpa ditunjang dan dipupuk oleh persaudaraan antarmanusia yang menuntut toleransi dan sikap saling menghormati (antikekerasan).

Prinsip tersebut telah mengangkat perjuangan wanita sederhana ini dan ashramnya melampaui batas-batas keagamaan dan kedaerahan. Pada tembok ashram Candi Dasa tersaji gambaran pengakuan akan pluralitas agama. Lambanga agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Yahudi terpajang berdampingan. Walau tantangan yang muncul tak pernah surut, kekayaan inspirasi hidupnya telah mengundang orang-orang dari berbagai agama dan negara untuk sejenak mengalami 'situasi lain' dalam hidup.

Dari sebuah 'suara kecil' di dalam hati Ibu Gedong Bagoes Oka terbersit suatu karya raksasa. Energi perjuangan sederhananya ternyata telah menghasilkan gema yang besar. Dari setitik nilai hidup yang dihayati dengan setia, ia telah menjadi teladan banyak orang. Sejumput harapan sempat terbit, "seandainya ada lebih banyak orang seperti Ibu Gedong di dunia ini!" Kita menantikan penerus-penerus perjuangan Almarhumah.

In Memoriam Gus Dur, Potret Tokoh Berintegritas Moral

23 hari lalu ia telah berpulang ke rahmatullah. Jejeran puluhan ribu rakyat dan mungkin jutaan pasang mata pemirsa TV yang mengiringi perjalanan jenasahnya ke liang lahat sudah merepresentasikan sosok karismatik dan aura magis Abdurrahman Wahid di mata publik Indonesia. Lantunan doa berbagai pemeluk agama dan keyakinan menyertai kepergiannya.

Tidak hanya itu, aneka gelar kehormatan disuarakan berbagai elemen masyarakat secara formal, bersanding dengan berbagai atribut khusus yang dilekatkan secara pribadi oleh sejumlah tokoh dan kalangan dekat pada mantan Presiden RI ini. Pejuang HAM, Tokoh Pro-Demokrasi, Pahlawan Pluralisme, Sang Humanis Sejati, Pembela Kaum Minoritas, Sang Jendela Dunia, Wali, Manusia Setengah Dewa adalah sebagian kecil dari ratusan gelar dan atribut menyeruak fakta bahwa ketokohannya tidak hanya didasarkan pada status sebagai mantan Presiden.

Kharismanya tidak hanya ditautkan pada “Darah Biru” yang mengalir pada dirinya sebagai keturunan KH Hasyim Asyhari dan KH Bisri Syansuri. Gelar dan atribut tersebut menjadi rentetan fakta bahwa Abdurrahman Addhakil, nama asli Gus Dur, telah melampaui batas keagamaan oleh nilai-nilai universal yang dibumikan di tanah nusantara.

Rentetan kontroversi sempat mewarnai sepak terjangnya. Di forum akademik, ia adalah salah seorang pendiri Forum Demokrasi (1991) yang kerap meletakkan penggemar lagu-lagu Janis Joplin ini dalam posisi berseberangan dengan tangan kekuasaan Soeharto. Namun ia juga harus berhenti dengan hormat dari forum yang diketuainya hingga 1999 karena menggaungkan Tutut (Siti Hardjanti Rukmana), putri Soeharto, sebagai suksesor ayahnya. Sarat dengan ide-ide demokratis, “Addhakil” (Sang Penakluk) tak ingin kebebasan berpendapat terpasung di negeri ini. Pilihannya mendukung kalangan golput dalam dua pemilu terakhir (2004 & 2009) mengalirkan kecaman deras dari sebagian besar tokoh nasional.

Di level agama, ia tak gentar oleh pandangan miring para kiai karena keberaniannya mengganti salam ”assalamualaikum” dengan ”selamat pagi”. Pada konteks kehidupan beragama jugalah Gus Dur menempatkan ketokohannya pada posisi yang tak tergantikan sebagai sang pluralis sejati. Konghucu dijadikan agama keenam di Indonesia. Saat menjabat presiden, bapak empat putri ini menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No 6/2000 yang dikeluarkan tanggal 17 Januari 2000 untuk mencabut Inpres 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China, termasuk menghidupkan kembali tradisi dan atraksi Barongsai. Tahun baru Imlek pun dijadikan libur fakultatif.

Ekstrimitas agama menjadi hal yang ditabukannya. Kesamaan hak dan martabat semua penganut agama dan kepercayaan di bumi nusantara menjadi hal mutlak yang diayomi oleh pandangan inklusifnya. Soal penyimpangan adalah hal lain yang harus ditelaah oleh pihak yang berkompeten. Sedangkan, tindak kekerasan dan main hakim sendiri demi membela agama wajib dieliminasi. Tak heran bila Gus Dur berada pada garda depan penolakan RUU APP pada 2008. Saat itu, cakrawala toleransi yang dikembangkannya mengharuskan tokoh berjiwa pluralis mendukung Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam Tragedi Monas 1 Juni 2008, meski ia harus berhadapan dengan FPI, ormas Islam yang ditakuti saat itu. Gus Dur pun berani pasang badan untuk melawan pelbagai tindak anarkis yang dilakukan sejumlah massa dan ormas di Jawa Barat hingga NTB ketika menuntut pembubaran gerakan dan jemaah Ahmadiyah di Indonesia pada periode 2006 hingga medio 2009.

Yang paling controversial pada level ini adalah usulannya untuk membuka hubungan ekonomi dan politik dengan Israel. Selain itu, keterlibatannya sebagai pendiri Shimon Perez Institute for Peace melahirkan tudingan bahwa Gus Dur adalah “antek Zionis-Yahudi”. Sebagai tokoh Islam, corak berpikir Gus Dur ini sulit dipahami kalangannya. Namun ia bergeming pada nilai humanis yang diusungnya.

Pada tataran kenegaraan yang sama, ia adalah tokoh rekonsiliasi nasional. Gus Dur tidak keberatan untuk meminta maaf kepada korban 1965 yang diserang oleh Banser NU (upaya membuka rekonsiliasi). Gus Dur tak sungkan meminta maaf kepada masyarakat Timor Leste atas berbagai penderitaan yang dialami selama di bawah pemerintahan Indonesia. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi RI-Timor Leste dibentuknya, meskipun tak terlalu sukses. Upaya ini memantik reaksi keras sejumlah petinggi militer. Ia juga memperkuat tautan integritas negara kesatuan dengan mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Lambang bintang kejora, yang di masa Orde Baru dianggap sebagai simbol pemberontakan, ditetapkan sebagai simbol budaya lokal Papua. So, diskriminasi pusat – daerah dijembataninya dengan apresiasi atas budaya dan simbol local.

Masih seabreg hal besar dan kecil yang telah dibuat figure dengan berbagai gelar internasional ini. Sebagian besar di antaranya melahirkan tanda tanya, kernyitan di dahi hingga cibiran. Gugatan dan celaan bagi Presiden RI ke-4 seolah sudah semestinya berjalan berbarengan dengan pujian dan kekaguman akan langkah, opsi, dan buah pikirannya. Namun, pada akhir hayatnya, penghormatan ribuan orang dan apreasiasi yang datang bergelombang mengiringi kepergiannya menjadi bukti sahih kesimpulan umum yang bisa ditarik dari sang tokoh fenomenal. Kepergiannya pada pukul 18.45 tanggal 30 Desember 2009 telah memprasastikan kesan dan pesan yang jauh lebih positif untuk dikenang dan diteruskan.

Satu hal yang pasti adalah kepribadian unik itu muncul karena keberanian yang bak karang tegar diterjang gelombang. Nyalinya tidak ciut oleh berbagai ancaman Orba demi memperjuangkan Demokrasi dan HAM. Ketegarannya tidak luruh meski harus berjuang seorang diri. Dan, keberanian itu lahir dari integritas atau otonomi moral yang dimilikinya. Nilai otonom itu manjadikannya tetap bersuara tanpa takut, bersikap tanpa kompromi, mengambil keputusan dan pilihan tindakan tanpa dicemari tekanan dari luar diri, satu pribadi yang bebas dalam berekspresi dan menuangkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaan secara konkret. Nilai-nilai itulah yang diperjuangkan dan hendak dibagikannya kepada semua orang tanpa sumbatan dan batasan. Pada titik inilah benturan tetap terjadi.

Btw, sekali lagi, penghormatan dan apresiasilah yang akhirnya menjadi point of reference, titik konklusi pertautan pengalaman perjumpaan jutaan orang dengan Gus Dur. Di balik kekayaan khazanah eksistensi semasa hidupnya, terbersit simpul-simpul kecil esensi diri Gus Dur yang bisa ditarik masing-masing kita yang kemudian melahirkan aneka gelar personal maupun public. Bagiku Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh beritegritas moral level atas. Adios Gus Dur….