Jumat, 24 Januari 2014

ARSC: Menilik Capres dan Kepentingan Asing

Memasuki tahun politik 2014, masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih luas terkait situasi perpolitikan Tanah Air dan karakteristik pemimpin yang tepat dalam memposisikan Indonesia di dunia Internasional. Untuk itu, pertautan antara berbagai kepentingan nasional dan internasional layak dipaparkan guna menyajikan opsi yang tepat bagi pemilih dalam menentukan pemimpin Negara. Pemikiran tersebut dikemukakan Direktur Eksekutif Akar Rumput (ARSC), Dimas Oky Nugroho dalam “Diskusi Media bersama ARSC” di Jakarta, Selasa (21/1/2013). “Polling atau survei capres lebih mendominasi informasi ke publik seputar capres 2014. Padahal pemahaman geopolitik pun penting sebagai info bagi publik, bahwa Pemilu tidak pernah steril dari kepentingan asing,” papar Dimas dalam diskusi yang mengangkat tema "Ke mana Arah Geopolitik Para Capres?” Pengajar Ilmu Politik di beberapa kampus ternama itu menjelaskan, sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah merebut perhatian internasional berkat luas geografis, potensi demografis, dan kekayaan alam yang dimiliki. Tarik menarik kepentingan itu semakin intensif pada dua dekade- terakhir dengan semakin banyaknya unsur yang menjadi pemangku kepentingan. Diuraikan Dimas, tidak hanya blok-blok Negara, kepentingan bisnis korporasi yang ingin mengamankan investasi di Indonesia akan terlibat aktif dalam perpolitikan Indonesia. “Kepentingan mereka adalah stabilitas untuk mengamankan investasi. Karena itu, figur yang populis dan paling mampu menjaga stabilitas investasi itulah yang akan didekati,” tambah Dimas. Pandangan senada disampaikan, Berly Martawardaya,. Kekuatan-kekuatan ekonomi dunia, menurut pengajar Fakultas Ekonomi UI itu akan melakukan pendekatan khusus kepada para capres. Untuk itu, figur-figur yang hendak mencalonkan diri perlu memperhatikan data dan faktor ekonomi sebagai rujukan untuk menentukan pilihan kebijakan. “Isu penting yang perlu dipertimbangkan adalah pertumbuhan ekspor Indonesia yang meningkat, termasuk dengan India, RRC, Timur Tengah, dan Rusia,” ungkap peraih gelar doktor dari University of Siena, Italia. Karena itu, Berly menilai para capres patut melakukan reorientasi dalam menentukan kebijakan ekonomi ke depan. Calon pemimpin perlu merangkul Negara-negara dan kekuatan-kekuatan ekonomi yang mampu membawa keuntungan, di luar AS dan Eropa. India, RRC dan China merupakan kekuatan ekonomi yang mampu membawa keuntungan secara nasional bagi Indonesia. Orientasi kebijakan juga menjadi poin yang disoroti narasumber berikutnya, Yogi Prayogi Sugandi. Pengajar Kebijakan Publik Universitas Padjajaran ini menilai Indonesia membutuhkan pemimpin visioner yang mampu menentukan proyeksi kebijakan luar negeri jangka panjang. Masalah yang kerap kali muncul dalam penentuan kebijakan adalah inkonsistensi pemimpin. Alhasil, orientasi kebijakan tidak pernah ajeg dan dapat berubah selaras dengan pendekatan pihak luar. Yogi mencontohkan kebijakan pertahanan. Indonesia cukup lama menjalin hubungan dengan Rusia dalam pengadaan alutsista, termasuk pesawat temput. “Tapi setelah kunjungan Obama ke Jakarta, Indonesia mulai membeli pesawat rongsokan dari AS tanpa alasan yang jelas. Jadinya tidak jelas orientasi kita ke mana,” kata Yogi.
Contoh di atas, dalam pandangan Yogi, hanya merupakan salah satu gambaran betapa seringnya masalah muncul karena inkonsistensi kebijakan dan pragmatisme dalam pengambilan keputusan politik. Masalah serupa kerap kali terlihat pula dalam keruwetan kebijakan dalam negeri. Dia member contoh banyaknya kebijakan pemerintah daerah yang bertentangan dengan kebijakan Pusat. Untuk itu, Yogi berharap publik akan memilih pemimpin yang konsisten, visioner, dan mampu merajut kepentingan asing dan kepentingan nasional secara proporsional.