Rabu, 13 Oktober 2010

CSR & Kritik Friedman





CSR (Corporate Social Responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan dalam dekade ini banyak mendapat kritikan. Inti kritikan tersebut hanya satu: korporasi raksasa dianggap cuma berjubah sinterklas yang datang membawa hadiah pada kalangan miskin. Padahal, mereka tak lebih dari lintah darat yang lilitan dan cengkeramannya baru disadari pada saat “jatuh tempo”.

Banyak gambaran negatif yang diletakkan kalangan kritikus pada aktivitas sosial kemasyarakatan perusahaan ini. CSR dipandang sebagai muslihat khusus (pendekatan marketing) sebelum memasuki pasar (masyarakat). CSR dinilai sebagai akal-akalan korporasi untuk memperbaiki citra perusahaan yang rusak karena berbagai alasan/kasus. CSR pun dipandang sebagai mainan pemanis korporasi agar tidak terkesan hanya bertujuan mengeruk untung sebesar-besarnya tapi juga memiliki sisi karitatif. Bahkan CSR sering dianggap pula laiknya membuang remah-remah profit untuk dinikmati mereka yang terbuang akibat kehadiran dan eksploitasi perusahaan.

Salah Kaprah
Banyak kritikus meminjam pernyataan Milton Friedman, sang teoris neoliberal, dalam esainya “The Social Responsibility of Business is to Increase its profits”, untuk menguatkan serangan mereka atas program sosial korporasi yang marak sekarang ini. Jika Friedman saja sudah menganggap CSR semata-mata untuk mencari untung, apalagi pandangan orang awam, begitu alur logika mereka. Namun sebenarnya meminjam pernyataan Friedman untuk menyerang CSR dari sisi kepentingan civil society adalah keliru besar. Bisa diibaratkan para pengutip hanya membaca judul tulisan tanpa melirik isi yang diulas.

Inti esai tersebut adalah bahwa Friedman ingin menegaskan bahwa korporasi tidak memiliki tanggung jawab social. Tujuan satu-satu dari bisnis adalah mencari keuntungan. Meminjam kata-kata Friedman, tujuan korporasi adalah “mencetak uang sebanyak mungkin”. “Social ends” atau pun “social awareness” adalah kepentingan dan tanggung jawab personal, bukan tanggung jawab perusahaan. So, korporasi tidak perlu memikirkan tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Tugasnya hanyalah melayani kebutuhan consumer atau customer dan menarik keuntungan dari jasa atau produk yang dihasilkan.

CSR hanyalah satu aspek dari kritik Friedman terkait sejumlah tanggung jawab yang akhir-akhir ini dibebankan kepada korporasi. Murid Friedrich Hayek ini melihat masalah polusi, lingkungan hidup-ekologi, penyediaan lapangan kerja, serta isu diskriminasi dan gender tidak layak menjadi pertaruhan perusahaan. Hanya satu tanggung jawab korporasi dalam pandangannya, yaitu menyediakan produk dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Relasi tersebut memberi keuntungan bagi kedua belah pihak: kebutuhan masyarakat terpernuhi dan korporasi mendapat keuntungan.

Lebih jauh lagi, konteks kritikan Friedman bukan untuk menyerang CSR per se. Sebagai pembela kepentingan bisnis yang bebas, Friedman justru membela kepentingan korporasi dan ideologi yang dibangunnya. Konteks pernyataannya adalah perang antara teoris liberal vs teoris sosial. Friedman menilai para oponennya berada di balik program tersebut. Korporasi dipandang sedang dijadikan boneka yang tanpa sadar diperalat oleh para teoris sosial untuk kepentingan mereka, dan telah ”merendahkan basis masyarakat bebas (selama) dekade2 lampau. Para pebisnis yang mengumandangkan kesadaran dan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, menurut Friedman, tak lain dari korban-korban intelektual sosialisme.

Argumentasi Friedman dibangun atas dasar tesis ini: yang memiliki tanggung jawab hanyalah manusia sedangkan korporasi hanyalah badan artifisial. Karena itu tanggung jawab korporasi juga bersifat artifisial. Ia meletakkan muncul kesadaran sosial tersebut pada oknum. Para pengambil kebijakan, terutama jajaran eksekutif-direksi, menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Mereka, menurut Friedman telah membiarkan diri menjadi wayang (unwitting puppets) yang didalangi kaum sosialis. Merekalah yang secara personal memiliki tanggung jawab sosial dan menyalurkan kesadaran tersebut secara keliru atas nama perusahaan. Dapat dikatakan, para pengambil kebijakan CRS itu telah menyalahgunakan kewenangan (sebagai eksekutif perusahaan) dan kepercayaan (sebagai tenaga kerja yang dibayar pemilik perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Kritik Friedman tersebut bisa memiliki fakta dan bisa dibenarkan dalam pengertian korporasi sebagai badan artifisial yang dijalankan oleh aktor-aktor yang memiliki kesadaran sosial. Namun sebagai badan artifisial, korporasi bukanlah eksistensi tanpa manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki hasrat untuk memenuhi keinginan yang bisa bersifat atau berdampak positif serta negatif untuk sesamanya. Dalam pemahaman tentang manusia sebagai individu yang memiliki nilai rasa sosial inilah argumentasi Friedman terasa timpang. Manusia hanya dilihat sebagai makhluk yang berkehendak bebas demi memenuhi keinginan ego semata, menjadi yang terbaik dalam persaingan, serta melihat yang lain sebagai musuh (homo homini lupus).

Secara singkat dapat dikatakan bahwa korporasi sebagai badan usaha tak mungkin ada tanpa manusia. Eksistensinya hanya dapat dimaknai dengan adanya penggerak yang adalah manusia. Dan, manusia tidak dapat dilihat secara sepihak dari perspektif ekonomi. Manusia harus dipandang secara utuh sebagai makhluk multidimensional yang memiliki passion: nafsu, ambisi sekaligus nilai rasa dan kepekaan. Individu-individu yang memimpin perusahaan adalah warga masyarakat dan bagian dari komunitas yang tidak mungkin tidak menyaksikan realitas yang ada di sekelilingnya.

Tambahan pula, tuntutan komunitas, pemerintah dan kelompok2 advokasi maupun masyarakat umum mengenai peran yang dimainkan para pebisnis bagi kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan, dan pembangunan sosial semakin bergema. Korporasi dewasa ini tidak hanya memikirkan perangkat dan kelengkapan legal dan pemenuhan aturan perundangundangan semata. Lebih dari itu mereka dituntut untuk memikirkan dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas ekonomi-bisnis yang mereka jalankan mengingat akumulasi dan berbagai kegiatan tersebut bisa berdampak secara global, sebagaimana terjadi saat ini.

Pandangan Friedman mungkin benar dalam pengertian CRS sebagai aktivitas sosial belaka dan bukan sebagai strategi bisnis kontemporer. Akan tetapi, dalam dunia bisnis dewasa ini profit dan kelangsungan bisnis tidak hanya bergantung pada tiga instrumen penting: harga/nilai, rasa, dan massa berlaku atau “sell-by date” (see. Ethics and Governance p.4). CSR dan berbagai kesadaran sosial lainnya sangat membantu meningkatkan reputasi dan brand image. Kedua poin tersebut lazim diterjemahkan sebagai fondasi untuk membangun customer trust dan selanjutnya customer loyalty yang kemudian berbuahkan peningkatan penjualan (sales) dan datangnya para investor yang memungkinkan ekspansi maupun ekstensifikasi. Brand Image yang positif adalah selling point yang penting bagi korporasi dan titik acuan bagi masyarakat. Oleh karena itu, CSR bersama perhatian pada isu-isu ekologi dan sosial lainnya bisa dikatakan sebagai bagian dari investasi potensial yang meletakan dasar bagi peningkatan profit bisnis.

Satu hal positif dari kritik Friedman adalah usulannya agar eksekutif perusahaan yang memiliki kesadaran sosial mendirikan suatu badan sosial sendiri secara terpisah dari perusahaan dengan tidak menyertakan brand perusahaan. Artinya, tujuan badan tersebut secara dasariah dan asali memang untuk kegiatan sosial. Hal ini sejatinya jauh lebih positif karena tidak ada embel-embel lain sebagaimana dimaksud para pengritik program sosial korporasi di atas: baju sinterklas sang lintah darat.


Back to CSR

Peran sosial perusahaan memang suatu program yang dilematis jika hanya dilihat dari sisi perspektif kritikus. Sudah begitu banyak kalangan yang mendapat manfaat dari program sosial tersebut. Korporasi sosial dengan sayap yayasan sosialnya, seperti Ford Foundation hingga Sampoerna Foundation, misalnya, telah menghasilkan banyak teknokrat, tenaga ahli dan kalangan terdidik dari masyarakat sederhana melalui program pendidikan dan penyaluran beasiswa. Langkah pemberdayaan sosial dari lembaga-lembaga serupa pun telah mampu menaikkan taraf hidup masyarakat.

Meski demikian, harus diakui pula bahwa kritik-kritik tersebut tentu memiliki dasar. Sejumlah program sangat nyata berbasis “profit oriented”. Ada bank, contohnya, yang mengimplementasikan ‘kepedulian sosialnya’ dengan program membuka rekening masyarakat kelas bawah di daerah pedesaan dan tertinggal. Sisi positifnya, kesadaran menabung masyarakat pedesaan meningkat. Di sisi lain, program yang lazimnya menggandeng Muspida setempat tersebut lebih cocok disebut kampanye kesadaran menabung karena alokasi dana sosialnya begitu minim. Dana tabungan datang dari masyarakat sendiri, walaupun diberi rangsangan tertentu, misalnya, saldo minimum yang lebih rendah. Lebih dari itu, program seperti itu jelas memuat sasaran ekspansi pasar. Sebelum menjalankan program CSR, tentunya pihak perusahaan sudah terlebih dahulu melakukan pendataan dan kajian. Potensi market (nasabah) yang signifikan tentu memungkinkan implementasi CSR sarat muatan keuntungan bisnis.

Ada pula contoh lain berupa kerusakan ekologis yang diakibatkan eksploitasi sejumlah proyek pertambangan. Penyaluran dana beberapa miliyar rupiah, jumlah yang tidak begitu besar dibanding keuntungan bernilai triliunan yang ditangguk, untuk program sosial yang sekaligus berfungsi untuk mengantisipasi dan menangkal reaksi negatif masyarakat.

Hal-hal serupa tentu saja sangat disayangkan. Namun, kita harus realistis dalam memandang dan menilai fenomena dan paradigma kontemporer. Saat kompetisi antarindividu maupun antar berbagai bentuk kelompok begitu kental, saat kebebasan individu (individual liberty) lebih kerap berbenturan dengan kebaikan bersama (common goods), efek-efek yang muncul dalam perilaku personal maupun sosial akan berbeda.

Nah, ketika program sosial dewasa ini memiliki muatan profit, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menyerang CRS secara kolektif. Sangat sulit dewasa ini menemukan lembaga privat sosial nirlaba. Dari sisi kompleksitas biaya hidup yang terus meningkat, hingga segala bentuk administrasi dan spesifikais pengurusan yang bervariasi dan bernilai uang, kita tidak bisa berharap terlalu banyak orang akan mau “berlumpur” demi menyelamatkan orang lain (istilah Dietrich Bonhoeffer) sebagaimana wajar terjadi pada Abad Pertengahan dan Periode Romantisme – saat dominasi nilai religius dan aspek relasi vertikal begitu kuat dalam masyarakat.

Lebih dari sekedar kesadaran sosial, pihak korporasi pun bisa memaknai realitas eksistensi dan esensi perusahaan dalam dialektika dengan masyarakat. Maksudnya, korporasi tidak mungkin didirikan tanpa ada target yang terarah pada kebutuhan masyarakat (pasar). Di lain pihak, masyarakat tidak mungkin memenuhi kebutuhannya tanpa ada korporasi yang bertindak sebagai produsen atau supplier.

Oleh karena itu, memaksakan kehendak agar program sosial yang membawa serta brand perusahaan perlu dihilangkan pun bukanlah opsi terbaik. Yang lebih dibutuhkan adalah mekanisme pengawasan terhadap aneka program CSR. Mekanisme tersebut dapat dijalankan oleh lembaga pemerintahan maupun NGO atau badan advokasi publik. Dengan adanya pengawasan yang bertujuan memonitor apakah program yang dijalankan lebih kental muatan ekonomi dibanding sosial, entahkah target masyarakat dan implementasi program sudah sinkron, dan apakah program yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat dan arah pembangunan daerah secara khusus, maka program-program CSR minimal bisa menyeimbangkan orientasi sosial dan orientasi profit-bisnisnya.

ELMORO02-141010



Milton Friedman:
Businessmen who talk this way are unwitting puppets of the intellectual forces that have been undermining the basis of a free society these past decades.


Only people have responsibilities. A corporation is an artificial person and in this sense may have artificial responsibilities, but "business" as a whole cannot be said to have responsibilities, even in this vague sense.


I share Adam Smith's skepticism about the benefits that can be expected from "those who affected to trade for the public good"--this argument must be rejected on the grounds of principle.