Kamis, 09 Oktober 2014

Pragmatisme Politik dan Revolusi Sibernetika

Pragmatisme Politik dan Revolusi Sibernetika


Max Weber masih berada di alam idealisme saat dia menulis Politics as a Vocation (politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan (1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang mengandung tekanan dan ketidakpastian.
Di era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung, berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari pertarungan paham-paham politik tersebut.
Dapat dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan publik, penyokong common good. Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem perwakilan.
Hampir seabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam “kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136).  Kehormatan baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk mengokohkan keunggulan material.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1658/Pragmatisme-Politik-dan-Revolusi-Sibernetika#sthash.0Xyi0UgD.dpuf
Max Weber masih berada di alam idealisme saat dia menulis Politics as a Vocation
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
Di
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
Dapat
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
Hampir
seabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136).  Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1658/Pragmatisme-Politik-dan-Revolusi-Sibernetika#sthash.0Xyi0UgD.dpuf
Max Weber masih berada di alam idealisme saat dia menulis Politics as a Vocation (politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan (1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang mengandung tekanan dan ketidakpastian.
Di era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung, berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari pertarungan paham-paham politik tersebut.
Dapat dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan publik, penyokong common good. Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem perwakilan.
Hampir seabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam “kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136).  Kehormatan baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk mengokohkan keunggulan material.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1658/Pragmatisme-Politik-dan-Revolusi-Sibernetika#sthash.0Xyi0UgD.dpuf

Max Weber masih berada di alam idealisme saat dia menulis Politics as a Vocation
(politik sebagai panggilan hidup). Meskipun pragmatisme telah muncul
sejak periode akhir abad 19 atau sepantaran usia Weber, sosiolog asal
Jerman tersebut tetap melihat karir politik sebagai dorongan yang lahir
dari kehendak untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan publik. Maka
kriteria yang perlu dimiliki seorang politisi adalah hasrat dan komitmen yang kuat serta wawasan
(1919, hal.128). Salah satu perwujudannya terlihat dari sikap politisi
yang siap menyediakan waktu dan energinya yang berharga untuk tugas yang
mengandung tekanan dan ketidakpastian.
Di
era Weber, otoritarianisme, monarki dan demokrasi tengah bertarung,
berbarengan dengan pertumbuhan konsepsi sayap kiri yang disebut
komunisme. Kala itu muncul gerakan-gerakan sosial-politik, terjadi
revolusi hingga kudeta di beberapa belahan dunia sebagai hilir dari
pertarungan paham-paham politik tersebut.
Dapat
dikatakan, pada era Weber nilai-nilai luhur sistem politik menjadi
kekuatan dialektika yang dibangun untuk memenangkan sistem politik yang
hendak dianut. Politisi pun hadir dengan motif serupa. Dari sisi
perilaku politik, insentif yang menjadi orientasi politisi kala itu
adalah kehormatan diri dan penghargaan sebagai pembela kepentingan
publik, penyokong common good.
Berbeda dengan sekarang, saat stabilitas politik dan dukungan
masyarakat pada sistem politik yang dianut pemerintah relatif tanpa
riak. Demokrasi lebih diterima secara global. Pertarungan wacana dan
praktik politik lebih terarah pada tataran subsistem, yakni pada
jangkauan partisipasi publik serta implementasi dan mekanisme sistem
perwakilan.
Hampir
seabad pasca “Panggilan Politik” ala Weber, proses evolusi di ranah
politik telah berkembang jauh selaras perkembangan pragmatisme dari
Amerika ke seantero dunia. Profit-oriented menjadi motif yang ikut
berkembang bersama perilaku pragmatis. Eksesnya ikut hadir dalam
“kultur” politik kontemporer. Nilai-nilai yang dihayati kebanyakan
politisi telah jauh dari idealisme Weber. Tekanan dan ketidakpastian
dalam politik yang dimaksud Weber masih menjadi bagian dari karir
politik. Akan tetapi, komitmen dan wawasan politik tidak lagi menjadi
kriteria prioritas yang layak dikedepankan. Perilaku para aktor politik
pun lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan diri yang
selaras dengan nilai kehormatan era kini, sebagaimana diulas Heinz Eulau
dalam Behavioralism in Political Science (1969, pp. 135-136).  Kehormatan
baru yang menjadi insentif para aktor politik saat ini adalah
nilai-nilai material dan kepentingan kelompok yang lahir untuk
mengokohkan keunggulan material.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1658/Pragmatisme-Politik-dan-Revolusi-Sibernetika#sthash.0Xyi0UgD.dpuf

Apa yang Terjadi dalam 1 Menit di Jagad Internet

Apa yang Terjadi dalam 1 Menit di Jagad Internet Teknologi Internet mengalami kemajuan yang sedemikian pesat. Jumlah pengguna naik drastis. Lalu lintas data yang bertebaran jauh bertambah. Aplikasi baru hingga teknologi data mengalami pembaharuan cepat. Bisnis yang memanfaatkan jasa internet pun mengalami kemajuan yang tak kalah pesatnya. Puluhan miliar dollar AS digerakkan setiap hari dari pemanfaatan teknologi internet. Domo, salah satu perusahaan solusi dan data bisnis internet menyajikan data yang mungkin membuat kita terhenyak tentang fakta pemanfaatan internet. Domo memberikan gambaran lintasan data dan aktivitas per satu menit yang dilakukan para netizen, sebutan untuk para pengguna internet. Mari kita simak apa yang berlangsung dalam durasi pendek 60 detik atau 1 menit di internet - See more at: http://www.siperubahan.com/read/444/Apa-yang-Terjadi-dalam-1-Menit-di-Jagad-Internet#sthash.edAOP6yi.dpuf