Minggu, 07 Februari 2010

Gelar Komunikator Politik Terbaik boeat Si Bapak

Presiden kita mendapat penghargaan Golden Standard Award untuk kategori Komunikasi Politik lho. Karena itu dia bisa dikatakan telah dianugerahi gelar komunikator politik terbaik di dunia. Senang juga mendengarnya. Namun, rasa senangku kali ini tanpa disertai apresiasi dan kebanggaan berlebihan, apalagi keharuan…hehehe. Why?
Si Bapak kan orang yang pertama kali saya pilih secara langsung sebagai calon Presiden pada 2004. Bukankah waktu itu saya memilih si Bapak karena kekaguman pada aspek-aspek simboliknya – kalau ibu2 mungkin karena faktor fisiknya …hmm.

Sejujurnya, saat itu saya tidak terperangkap oleh apa yang disebut sejumlah orang sebagai politik pencitraan dengan merepresentasikan diri sebagai pihak yang teraniaya, korban politik, suatu melancholic approach.

Sebagai mahasiswa yang mengental dengan lingkungan akademis, saya cukup terbawa oleh pola-pola yang mempararelkan kualitas kepemimpinan dengan standar-standar intelektualitas. Salah satu pengukur adalah kemampuan berbicara yang menarik dalam aspek tertentu. Itu berarti dasar pilihan saya waktu itu adalah kemampuan komunikasi si Bapak yang saya anggap lebih mengagumkan dibandingkan capres lain (ini refleksi post datum). So, bisa dikatakan bahwa saat itu mantan Menkopolkam ini menarik karena kecakapan berorasinya, bagian dari keunggulan komunikasi politik.

Kita bisa membanding-bandingkan kemampuan komunikasi verbal para presiden kita. Presiden Soekarno layak dikedepankan sebagai orator ulung. Daya magis perpaduan pilihan kata, skill komunikator, dan isi pidato yang membakar sangat tepat untuk membangkitkan semangat juang. Ia layak disebut sebagai seorang demagog, factor penting kepemimpinan saat perjuangan merintis kemerdekaan dan periode-periode awal kemerdekaan. Presiden Soeharto lebih mengarahkan perhatian pada komunikasi dialogis dengan public, sekaligus pressure method. Presiden Habiebie, maaf, secara subyektif harus saya katakan lemah pada harmonisasi antara mimic, gesture serta akselerasi dan intonasi penyampaian …hehehe kayak pakar aja. Presiden berikutnya adalah tokoh yang paling saya kagumi, Gus Dur. Walau lisan, isinya cemerlang. Hanya imbasnya bisa ngelantur, apalagi kerap disisipi guyonan khasnya. Maaf, tentang presiden yang satu lagi tak mampu saya deskripsikan karena katanya lebih berkomunikasi secara nonverbal…maaf..af…af.

Nah, si Bapak adalah orang yang menurut saya punya kemampuan berorasi paling menarik. Artikulasi yang jelas, gesture yang berwibawa, kalimat yang runut, mengusai detail – menunjukkan penguasaan materi dan adanya persiapan, dan….suka menyelipkan istilah, kata or frase English. Ditambah pembawaan diri yang terkesan santun, maka lengkaplah sudah unsur-unsur simbolik prasyarat calon pemimpin yang baik.

Kembali ke pertanyaan awal, mengapa saat apa yang menjadi kekaguman awal saya mendapat apresiasi yang lebih luas, level dunia, saya justru hanya sebatas senang?

Pertama, karena saya sudah cukup lama meninggalkan bangku akademik dan menggauli “dunia riil”. Upaya untuk menyelaraskan ilpeng ke tataran praksis akhirnya harus dihadapkan pada kondisi factual, kebutuhan logis, kesempatan, dan tentu saja keuntungan. Pragmatisme jelas lebih berkembang dibanding idealism. Karena itu ada perbedaan pula pada matra komunikasi antara yang simbolik dan riil, antara kesan dan fakta, antara fenomena dan noumenon. Anda juga pasti ingat saat si Bapak mengeluarkan pernyataan bernada ancaman kepada KPK, ia menyatakan KPK sebagai lembaga superbody… powerholder yang luar biasa…hati-hati! Ini kontradiktif dengan janjinya sendiri untuk memprioritaskan pemberantasan korupsi. Dalam dimensi berbeda, dari sisi pragmatis tidak tertutup kemungkinan adanya agenda setting di balik penganugerahan tersebut.

Kedua, semakin lama elemen artificial semakin bisa dipilah dari elemen riil. Seserius apa pun mimiknya saat mengatakan tidak mengenal siapa AA, tokoh politik dan pengusaha yang sering dikonfrontasikan media dengan menteri keuangannya, orang paham bahwa si Bapak sedang mencoba berakrobat kata-kata. Itu contoh kecilnya.

Ketiga, strategi lama yang dipakai terus-menerus bukan saja akan terkesan usang tapi juga kontraproduktif. Desain strategi komunikasi sebagai korban atau target (terror bom, fitnah, aksi-aksi politik) para lawan sudah tidak bertuah lagi. Kesan yang muncul jauh dari simpatik karena si Bapak sekarang dipandang sebagai pribadi yang terlalu melankolis, makin jauh dari criteria pemimpin yang diharapkan.

Keempat, factor pendukung, seperti framing isu, mulai kurang jelas terbaca. Entah karena problem identifikasi ataukah karena sudah dihadapkan dengan oposan yang berlapis-lapis, yang pasti nada-nada intimidatif dan tanpa dukungan bukti yang memadai makin sering terlontar.

Pola scapegoating atau pengkambinghitaman beberapakali ditempuhnya atas nama pencitraan. Kesan yang muncul, si Bapak kurang mampu mengkomunikasikan secara cerdas masalah-masalah urgen yang mengandung konsekuensi pertaruhan jabatan. Imbasnya, orang melihat si Bapak lebih sering lari dari tanggung jawab. Pengumuman kenaikan harga BBM oleh wapres JK, membiarkan Polri dan Kejaksaan dalam sorotan dalam kasus Cicak v Buaya. Ini menjadi alasan kelima.

Alasan keenam, serangan dari berbagai arah di lingkup domestic, bahkan dari mitra koalisi, menjadi fakta konkret belum terjalinnya komunikasi politik yang mendukung, baik pada level politik maupun stakeholder lainnya.

Alasan ketujuh adalah kombinasi antara komplikasi alasan-alasan di atas dan kesimpulan. Berbagai factor di atas di tambah realitas politik tanah air saat ini yang memanas jelas mengganggu konsistensi komunikasi si Bapak. Penampilan tak sesegar dulu – mungkin juga karena factor usia. Kata-kata sering tak terkontrol bahkan beberapa pernyataannya akhir-akhir ini dipandang sebagai tudingan naïf. Ada ketidaksigapannya menghadapi perkembangan isu-isu panas, akibatnya para deputi komunikatornya – dari jajaran partai dan pemerintahan – terkesan mendahului sang bos. Sayangnya, acrobat para deputi sering memperuncing masalah dan menciptakan opini yang semakin negative. Kontroversi seputar aksi Bang Poltak dan isu reshuffle bisa menjadi rujukan.

Pokoknya, dalam banyak hal SBY bukan yang dulu lagi. Maksudku, kemampuan komunikasinya tidak semantap beberapa tahun yang lalu. Karena itu, saya hanya sampai sebatas senang mendengar kabar adanya penghargaan tersebut. Lebih pas , menurutku, jika award itu diberikan pada empat or lima tahun lalu. How about you, frens??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar