Selasa, 25 November 2014

Bola Liar Kabinet

“Lebih cepat lebih baik” adalah semboyan yang lekat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dari sisi manajemen konflik, prinsip tersebut bisa memangkas risiko perluasan krisis dan dampaknya. Penanganan yang lebih dini akan menutup peluang akumulasi unsur dan kepentingan yang terkait dalam suatu problem.  Efisiensi dan efektivitas dalam menangani persoalan juga menjadi poin positif dari langkah cepat tersebut.
Dari sisi dramaturgi, rentetan masalah akan menempatkan lakon pada point of no return atau klimaks. Pada tahap ini, ketegangan harus dihadapi dan ditangani, tak ada opsi lain. Penanganan pada puncak persoalan atau catastasis akan menentukan akhir drama. Tentunya penanganan yang cepat, tepat atau efisien dan efektif akan menentukan apakah konflik yang terjadi akan berakhir manis atau tragis.
Tantangan penanganan konflik atau rentetan plot epitatio (komplikasi masalah) tengah dihadapi pemerintahan Jokowi-JK. Usai memenangkan pilihan rakyat dalam Pilpres 2014, Jokowi-JK mendapatkan tugas untuk menjalankan roda pemerintahan. Untuk itu, Jokowi perlu menentukan deputi-deputi yang layak memimpin tiap kementerian dan lembaga serta organ pendukung pemerintahan lainnya.
Sejak awal, Jokowi telah menyatakan anggota kabinet dan jajaran pendukung pemerintahan akan ditempati figur-figur yang profesional dan bersih, suatu pilihan ideal yang diinginkan publik. Namun, realitas politik menyajikan tantangan baru. Sebagai pemimpin politik, Jokowi perlu mengakomodasi kepentingan elit politik demi langgengnya pemerintahan.  Solusi awalnya sudah mulai terakomodasi saat keluar formula 18:16 untuk susunan kabinet dari Rumah Transisi. 18 menteri adalah sosok profesional murni, sedangkan 16 adalah jumlah perwakilan dari profesional partai politik.
Dinamika konflik belum usai dengan formula 18:16. Kondisi di parlemen menunjukkan lemahnya dukungan politik bagi pemerintahan Jokowi-JK. Komunikasi politik harus dijalani keduanya dengan pihak oposisi, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP). Tentu saja komunikasi tersebut berintensi adanya kesepahaman yang mengandaikan poin-poin kesepakatan tertentu, termasuk kerangka pemerintahan yang bisa diterima kedua belah pihak. Imbasnya, bukan hanya kepentingan parpol pendukung yang harus diakomodasi Jokowi – JK, tetapi juga urusan kompromi dengan KMP harus diperhitungkan. Rapor "merah-kuning" dari KPK menjadi pertimbangan tersendiri.
Point of no return dari akumulasi kepentingan tersebut adalah pengumuman kabinet. Rakyat menunggu sosok-sosok terbaik untuk setiap posisi pemerintahan. Parpol menantikan “keterwakilan” sumbangsih mereka bagi pemenangan Jokowi-JK. Demikian pula sekoci-sekoci atau kelompok-kelompok masyarakat pendukung keduanya berharap dukungan mereka dapat “diserap” Jokowi melalui figur tertentu. Hal yang sama berlaku bagi KMP, meskipun melalui lingkaran akses yang lebih panjang. Belum lagi hitungan kriteria utama yang patok Jokowi: bersih dan profesional.
Jokowi menyadari semua kepentingan dan kriteria di atas perlu terakomodasi. Upaya akomodasi kepentingan juga menjadi arena konfliktual. Konflik kepentingan tentu akan terus meninggi sejalan bertimbunnya faktor pertimbangan. Benturan, gesekan hingga pertautan  antarkepentingan berpotensi terjadi dalam rupa polarisasi maupun irisan yang terbentuk. Waktu keputusan akan menentukan dalam manajemen konflik saat ini. Dalam tataran pertautan kepentingan, tahapan pengumuman anggota kabinet merupakan klimaks dari pertautan kepentingan.
Jokowi tentunya menyadari bahwa klimaks yang dibiarkan berlangsung lama akan menciptakan beban yang lebih berat dalam pengambilan keputusan. Ibaratnya, Jokowi membiarkan bola panas terus bergulir di sekeliling dirinya dalam waktu yang lama akibat terus menunda pengumuman susunan kabinet. Tentu saja, klimaks tersebut bisa berdampak buruk bagi dirinya. Kepentingan-kepentingan yang meluas akan juga berakrobat dan berpolarisasi mencari jalan menuju kekuasaan. Waktu yang lebih panjang bagi akorbat politik tentu saja berpotensi destruktif.

Jokowi, sebagaimana JK, dikenal sebagai seorang eksekutor, seorang pekerja. Dia tentu sadar, arsitektur kabinet memiliki prioritas mendukung kerja cepatnya. Akomodasi kepentingan adalah prioritas kedua. Karena itu, Jokowi tak perlu membiarkan bola panas terus mengitari dirinya. Pengumuman nama-nama menteri tidak perlu ditunda hingga pekan depan. Citranya sebagai eksekutor dan pengambil keputusan cepat akan ternoda. Selain itu, membiarkan bola panas semakin membesar akibat pembiaran sama artinya menyiapkan bara ketidakpuasan menggeliat terlalu dini. Jokowi tak boleh membiarkan klimaks awal ini menyandera dirinya. Jangan biarkan pengumuman nama menteri yang merupakan langkah awal pemerintahan Jokowi-JK justru menjadi bola liar akibat panjangnya waktu yang tersedia untuk manuver-manuver politik pihak-pihak terkait.
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1696/Bola-Liar-Kabinet#sthash.8t8Yeglk.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar