Selasa, 14 Juli 2009

Eksistensi KPK: Antara ‘Tangkap Tangan’ dan ‘Jebakan’


Adanya gesekan antarlembaga hukum diungkapkan Presiden SBY dalam Rapat Koordinasi Pemberantasan Korupsi, kemarin (13/7/09) di Kantor Presiden. Gesekan tersebut sebenarnya lebih terarah pada fungsi dan peran KPK dalam pemberantasan korupsi. Independensi KPK dalam mengganyang koruptor disentil kalangan oponen dengan sebutan ‘superbody’. Kewenangan komisi ini jelas menjadi ancaman besar bagi berbagai elemen penting bangsa ini, yang notabene sudah digerogoti penyakit laten bermain api dengan uang negara, uang rakyat.

Sejumlah lembaga hukum lainnya, seperti Polri, MA, BPK sempat/sedang mengalami ketegangan hubungan dengan KPK. Pangkalnya sebenarnya menyangkut citra, persaingan, dan kekuasaan antarlembaga. Ada yang merasa perannya tersaingi, ada yang merasa digerogoti, dan ada juga yang merasa di-overlap. Semuanya menunjuk ke KPK. Jadilah komisi ini musuh bersama. Bila dikaitkan dengan aroma permusuhan yang sebelumnya telah dihembuskan sejumlah kalangan di DPR dan partai politik maka lengkaplah sudah predikat KPK sebagai “the most common enemy”. Hal ini semakin menggawatkan eksistensi KPK. Tak heran bila sejumlah pihak mengklaim adanya upaya untuk menggembosi KPK.

Gesekan Antarlembaga

Kehadiran lembaga yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2002 ini memang tidak hanya mengawatirkan para koruptor. Kinerja KPK yang sukses mendatangkan apresiasi masyarakat seolah menampar wajah pihak-pihak yang sebelumnya paling bertanggung jawab atas pemberantasan korupsi. Publik merasa telah memasuki era baru penegakkan hukum di negara ini. Apresiasi tersebut seolah-olah menempatkan lembaga-lembaga hukum terkait di bawah bayang-bayang KPK.

Gesekan awal KPK dengan lembaga hukum lainnya adalah dengan BPK. Hal itu terjadi pada KPK periode sebelumnya dalam kasus audit KPU. KPK menganggap BPK tidak melakukan audit yang menyeluruh. Gesekan tidak langsung juga terjadi saat Surachmin, salah seorang staf BPK lolos sebagai 10 calon pimpinan KPK. Surachmin, pada waktu itu, mengakui adanya mafia dalam audit BPK. Gesekan dengan KPK periode ini terjadi karena penahanan Bagindo Quirinno, seorang auditor BPK oleh KPK. Bagindo dijadikan tersangka perkara dugaan korupsi dengan menerima dana sebesar Rp 650 juta dari pimpinan proyek pengembangan sistem pelatihan dan pemagangan Depnakertrans. Yang teranyar adalah penangkapan Udju Jauhari, Auditor BPK yang kemudian mengundurkan diri, dalam kasus penerimaan dana suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Situasi tersebut belakangan sudah mereda dengan adanya kerjasama antara kedua belah pihak, di antaranya dalam penelusuran utang luar negeri. Data BPK dijadikan KPK sebagai pijakan awal.

Gesekan KPK dengan MA sama seperti BPK sudah terjadi pada periode KPK sebelumnya. Taufiequrrahman Ruki cs menyampaikan surat panggilan kepada Ketua MA Bagir Manan untuk menjalani pemeriksaan KPK terkait kasus suap MA yang melibatkan pengusaha nasional Probosutedjo. Masalah berikutnya muncul dalam upaya KPK untuk menyidik penyimpangan pengelolaan biaya perkara di MA. Upaya tersebut pasti mencoreng citra lembaga tertinggi yudikatif negara ini. Apalagi, MA dibawah kepemimpinan Bagir Manan selama ini dikenal sebagai the real superbody, tak tersentuh, dan tidak dapat diintervensi pihak mana pun.

Sementara itu, gesekan dengan pihak Polri merupakan isu terbaru. Setelah penangkapan Antasari Azhar (Kasus Nazaruddin) dan pemeriksaan Chandra M Hamzah terkait penyadapan nomor handphone dalam kasus yang sama, hubungan kedua lembaga tersebut memanas dengan tudingan Kabareskrim Polri Komjen Pol. Susno Duadji bahwa nomor HP-nya telah disadap KPK. Adapun penyadapan itu dikaitkan dengan upaya pencairan dana sebesar US$ 18 juta milik Boedi Sampoerna di Bank Century.

Gesekan yang paling sering terdengar adalah antara KPK dengan pihak kejaksaan dan kalangan DPR. Pihak kejaksaan bisa dikatakan sebagai pihak yang paling dirugikan dengan melonjaknya citra KPK. Kinerja lembaga yang seharusnya bertanggung jawab langsung atas penyidikan berbagai kasus korupsi itu semakin tercoreng di mata masyarakat terkait penangkapan staf Kejaksaan Agung, Jaksa Urip Tri Gunawan, dalam kasus suap Artalyta Suryani, oleh pihak KPK. Perang dingin antara keduanya pun dimulai. Gerak cepat Kejagung dalam penahanan Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan Nazaruddin dikaitkan banyak pihak dengan dendam lama pihak kejaksaan.

Sedangkan DPR adalah pihak yang paling banyak menjadi korban aksi KPK. Jatuhnya pamor lembaga perwakilan rakyat tersebut tak bisa dilepaskan dari tertangkapnya sejumlah anggota/mantan anggota DPR terkait kasus korupsi dan suap. Penangkapan itu disertai pula dengan penggeledahan ruang kerja anggota-anggota DPR yang bersangkutan di Senayan. Pengakuan sejumlah tersangka lain yang ditahan KPK, baik dari kalangan anggota DPR maupun non DPR juga semakin menguak kebobrokan para wakil rakyat tersebut. Jelas aksi KPK ini membuat gerah sejumlah anggota DPR. Upaya untuk membatasi kewenangan DPR disinyalir media berawal dari lembaga legislatif ini.

Antara Tangkap Tangan dan Jebakan

Presiden SBY dalam rapat koordinasi kemarin juga mengingatkan untuk lebih memprioritaskan upaya pencegahan korupsi daripada penangkapan koruptor. Penangkapan koruptor pun, diwantiwantinya, untuk menghindari upaya-upaya jebakan. Pernyataan tersebut justru memancing polemik baru. Apa yang dimaksud Presiden dengan jebakan? Banyak pihak yang telah lama mencium gelagat upaya penggembosan KPK langsung menafsir kata-kata SBY itu terkait dengan aksi tangkap tangan dan penyadapan yang acapkali dilakukan KPK.

KPK memang berkali-kali sukses menjebloskan para koruptor dan kompradornya melalui metode ini. Korbanyanya bisa disebut orang-orang yang sulit ditembusi kekuatan hukum sebelumnya. Kalangan pemerintah dan sejumlah pelaku bisnis tidak lolos dari gebrakan KPK. Sementara dari kalangan DPR, KPK sudah berhasil menjebloskan 7 anggota, mulai dari Al Amin Nasution hingga yang terakhir Abdul Hadi Djamal. Terobosan baru KPK ini terbukti efektif baik dari sisi proses hukum maupun dampak lanjutannya. Setidaknya, cara ini mampu mempersempit celah bagi anggota DPR yang notabene memiliki jaringan perlindungan yang luas, untuk meloloskan diri dari jerat hukum.

Partai politik yang ikut terkena getahnya terkesan lebih berani menjatuhkan sanksi internal terhadap anggotanya yang tertangkap tangan. Ini terlihat jelas pada kasus Al Amin. Suryadharma Ali selaku ketua PPP dengan tegas memecat Al Amin dari keanggotaan partai. Bandingkan dengan anggota DPR yang diduga terlibat kasus tertentu berdasarkan laporan formal atau kesaksian di persidangan. Betapa sulitnya tembok lembaga legislatif ini diterobos, meski sekadar untuk memenuhi panggilan pemeriksaan KPK maupun kejaksaan. Dalam kasus aliran dana BI ke sejumlah anggota DPR, misalnya, lebih mudah melakukan proses hukum terhadap sejumlah pejabat BI yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut dibandingkan nama-nama dari kalangan DPR yang disinyalir terlibat sebagai penerima dana.

Dalih mengenai ‘jebakan’ KPK dalam penangkapan koruptor bisa diabaikan jika itu terkait metode ‘tangkap tangan’ dan penyadapan. Kesuksesan KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia justru ditunjang oleh penerapan cara ini. Sejumlah pelaku bisnis kakap, pejabat pemerintah, dan 7 anggota DPR telah ditahan dengan metode tersebut. Nyali para pelaku pun ciut karena takut akan penangkapan langsung yang disorot media dan dipermalukan di depan kalayak ramai dalam kasus korupsi. Ini perlu dikedepankan mengingat efek jera yang dihasilkan dan sulitnya para koruptor besar, baik pengusaha, oknum pejabat eksekutif maupun legislatif diseret ke pengadilan tanpa metode tersebut.

Metode ini (tangkap tangan) sejauh ini dianggap sebagai cara terbaik. Strategi teknis yang mendahuluinya, salah satunya, adalah dengan proses penyadapan. Benar bahwa semua proses penyadapan yang dilakukan harus memenuhi prosedur hukum yang ditetapkan melalui undang-undang. Selain itu, nilai etika-moral juga menjadi pertimbangan. Lalu mengapa tiba-tiba presiden menghimbau untuk menghindari cara tersebut? Bukankah anjuran tersebut justru menyurutkan keberhasilan pemberantasan korupsi yang selalu dikampanyekannya menjelang pilpres?

Tanggapan arif Taufiequrrahman Ruki mungkin bisa dijadikan pijakan. Mantan ketua KPK ini mengatakan proses menangkap tangan dan penyadapan harus dilihat dalam perspektif yang tepat. Sudut pandangnya harus dibedakan antara metode untuk menangkap basah dan penjebakan. Bertolak dari perspektif argumentasi di atas, menangkap tangan adalah cara paling tepat untuk memberantas korupsi. Sementara, jika bertolak dari perspektif para koruptor, tangkap tangan dan penyadapan merupakan jebakan.

Eksistensi KPK
Unsur yudikatif (MA) sudah berupaya menggoyang KPK dengan ketegaran mereka menolak intervensi sekalipun kasusnya cukup jelas. Lembaga legislatif juga terkesan berupaya menekan KPK dengan terkantung-katungnya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor oleh DPR. Sebelumnya, wewenang KPK pun sudah dibatasi melalui RUU, yakni sebatas penyidikan dan pemeriksaan. Sekarang, pemerintah (eksekutif) juga menunjukkan sinyal akan membatasi ruang gerak KPK. Tanda awal terlihat pada keluarnya perintah kepada BPKP untuk melakukan audit terhadap KPK, meskipun KPK bukanlah lembaga pemerintahan. Indikasi terakhir diperlihatkan pemerintah dengan adanya anjuran untuk meniadakan upaya jebakan.

Jika unsur eksekutif (melalui upaya audit BPKP, membatasi cara penyelidikan/penangkapan), unsur yudikatif (gesekan dengan MA), dan unsur legislatif (membatasi kewenangan KPK dan terkatung-katungnya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor), ditambah para pemilik modal sudah menunjukkan gelagat menjegal langkah KPK, tinggal media dan rakyat yang menjadi elemen tersisa untuk mempertahankan daya dobrak KPK. Habis manis semoga sepah tak dibuang. Habis kampanye, semoga peran KPK tidak dikerdilkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar