Kamis, 02 Juli 2009

Kebijakan Suku Bunga Kredit: Cara Bank Meraup Untung di tengah Krisis Finansial (1)

Banyak masyarakat kecil yang menjadi debitur bank terus meminta pertimbangan bank untuk menurunkan suku bunga kredit, baik untuk modal kerja maupun KPR. Hal ini jelas terbaca dalam rubrik surat pembaca media cetak maupun media online. Sayangnya, bank-bank nasional merespons dengan enggan. Pertimbangan kesehatan bank, likuiditas, tingginya angka NPL, hingga kondisi finansial dalam dan luar negeri, dijadikan alasan. Bukan hanya masyarakat kecil. Kadin Indonesia, Apindo, Hipmi, dan berbagai elemen yang menaungi pengusaha menengah-atas pun ikut bersuara. Ada apa dengan dunia perbankan nasional?

Benar bahwa sebagian besar bank telah tiga kali menurunkan tingkat suku bunga masing-masing. Penurunan tersebut juga diliput media nasional. Tidak hanya itu, para petinggi bank terus menerus mengeluarkan pernyataan bahwa penyesuaian terhadap BI rate sebagai acuan akan terus diupayakan. Masalahnya adalah, penyesuaian yang dilakukan bank pada umumnya hanya berkisar 25-50 basis poin (bps) atau 0,25%-0,50%. Alhasil, tiga kali penurunan pun belum sebanding dengan kenaikan drastis suku bunga kredit yang diberlakukan bank pada awal krisis finansial lalu. Kenaikan dari 9%-10% menjadi 15%-20% jelas memberatkan debitur maupun calon debitur. Imbasnya, berbagai sayap ekonomi penggerak sektor riil turut tercekik.

Penurunan BI Rate Belum Berdampak

Suku bunga acuan BI (BI rate) telah kembali mengalami penyesuaian. Pemangkasan terakhir (3/6) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 7,00% bahkan telah mencapai nilai terendah sejak sistem perangkat moneter ini diformulasikan pada Agustus 2005. Sejumlah indikator rujukan BI mengarah positif. Inflasi mengalami penurunan dan nilai tukar rupiah juga relatif menurun berkat dukungan peningkatan cadangan devisa. BI juga melaporkan likuiditas perbankan, termasuk likuiditas pasar uang antarbank, makin membaik dan dana pihak ketiga (DPK) terus meningkat, meskipun kredit macet (non performing loan/NPL) sedikit meningkat.

Lalu, mengapa kalangan perbankan bergeming terhadap desakan berbagai pihak, termasuk BI dan pemerintah? Kalangan perbankan berdalih tingginya suku bunga kredit tidak ada hubungan kausal dengan rendahnya permintaan kredit. Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, misalnya, menyatakan “...justru permintaan kredit dari pengusaha sendiri yang masih rendah!” (Kompas.com, 8/6). Benarkah demikian?

Menangguk Laba dari Krisis Finansial

Sejumlah kalangan menengarai perbankan nasional berusaha mengeruk keutungan dari krisis finansial melalui peningkatan pendapatan bunga bersih/Net Interest Margin (NIM). NIM yang merupakan selisih antara bunga simpanan dan bunga pinjaman dipastikan akan meningkat jika tingkat suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman jomplang. Dengan nilai bunga pinjaman antara 15% - 20% sedangkan bunga simpanan berkisar 5% - 7%, bank-bank nasional dipastikan meraup keuntungan yang menggiurkan.

Kebanyakan bank-bank nasional juga menerapkan kebijakan suku bunga kredit yang berbeda untuk debitur baru & calon debitur di satu sisi, dan debitur lama di sisi yang lain. Kebijakan penurunan bunga kredit hanya berlaku bagi debitur baru/calon debitur, sedangkan bagi debitur lama tetap diberlakukan kebijakan lama dengan bunga yang lebih tinggi. Maksudnya, sudah pasti untuk meningkatkan penyaluran kredit. Namun, dampak kebijakan ini sangat justru bisa berimbas pada peningkatan kredit macet/NPL.

Strategi meraup keuntungan melalui kebijakan suku bunga juga terlihat dalam penyaluran kredit. Pembedaan bunga kredit yang diterapkan pada pengusaha menengah-atas dan pengusaha kecil/mikro sudah jamak terlihat. Bunga pinjaman bagi pengusaha besar biasanya lebih rendah, sementara bunga pinjaman bagi pengusaha mikro dan kecil lebih tinggi. Asumsi pragmatis ini jelas mengarah pada pembatasan ruang gerak pelaku usaha bermodal kecil.

Bukan hanya ‘permainan NIM’ dan kebijakan bunga kredit. Permasalahan lainnya adalah sikap saling menunggu dan mengintip antara bank dalam menerapkan kebijakan suku bunga. Bank-bank nasional, sebagaimana diakui sendiri oleh para petingginya, enggan mengambil risiko dengan menjadi pionir. Lebih parah lagi, bank-bank kecil-menengah acapkali tidak hanya menunggu kebijakan bank besar, tapi juga melihat dampaknya terlebih dahulu. Hasilnya, untuk menurunkan suku bunga sebesar 0,25% pun bank cenderung bereaksi lamban.

Iklim persaingan antarbank ini berdampak besar terhadap pelaku usaha dan konsumen yang harus menanti dalam ketidakpastian. Para debitur lama bagai ‘sudah jatuh, tertimpa tangga pula’. Laju bisnis mereka yang tersendat karena terimbas krisis diperparah dengan kenaikan setoran ke bank kreditur yang justru menerapkan bunga tinggi. Sementara para calon pelaku usaha dan konsumen terus menanti dalam ketidakpastian


baca artikel II: Efek Berantai Kebijakan Bunga Kredit Bank

Tidak ada komentar:

Posting Komentar