Jumat, 03 Juli 2009

Efek Berantai Kebijakan Bunga Kredit Bank (II)

Sambungan dari artikel “Kebijakan Suku Bunga Kredit: Cara Bank Meraup Untung di tengah Krisis Finansial”

Masalah tingginya suku bunga pinjaman layak membuat banyak pihak uring-uringan. Tak dapat dipungkiri, sektor perbankan berperan penting demi menggerakkan perekonomian nasional. Halim Alamsyah, direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI bahkan menyebutkan bahwa perbankan menguasai 70% perekonomian (Bisnis Indonesia, 19/6). Saat penyaluran kredit seret akibat tingginya bunga pinjaman, roda ekonomi sektor lain yang bergantung pada kucuran dana bank ikut terombang-ambing.

Ketika sektor riil macet maka ekonomi negara akan mengalami goncangan, termasuk di dalamnya dunia perbankan sendiri. Maka, ketika bank-bank tetap memberlakukan kebijakan suku bunga tinggi untuk pinjaman dan berupaya terus mengais keuntungan di tengah krisis, langkah tersebut bisa dikategorikan sebagai tindakan bunuh diri dan membunuh perekonomian negara.

Dominasi dan ketamakan satu pihak akan berimbas pada kehancuran elemen lainnya, yang berujung pada kehancuran diri sendiri. Dengan kata lain, tindakan kompak bank-bank nasional bukan hanya mengarah pada mandeknya sektor riil dan menurunnya ekspor, tapi lebih jauh akan mengarah kepada penghancuran ekonomi nasional. Itu artinya, keinginan mengeruk profit besar kalangan perbankan berpotensi mencelakakan diri sendiri dan negara secara umum.


Atas Nama Prudential Banking

Di tengah krisis finansial global, bank-bank yang beroperasi di Indonesia layak mengedepankan prinsip kehatihatian bank (prudential banking), termasuk dalam mencegah tingginya nilai NPL. Untuk itu bank sangat selektif dalam penyaluran kredit. Tolok ukur utama yang sering dipakai adalah aspek feasibility, yakni terkait potensi atau peluang usaha, dan aspek bankable, yakni terkait kelayakan untuk menjadi debitur bank.

Bila benar-benar tegas dalam prinsip-prinsip tersebut, perbankan akan semakin enggan memberikan pinjaman dan masyarakat sederhana di Indonesia akan kesulitan memperoleh kredit bank. Masalahnya, rekam jejak pengusaha kecil sebagai debitur seringkali masih kosong dan kapasitas kredit pun sulit diukur karena tingkat pendapatan bulanan yang tidak jelas. Apalagi, jika bank ketat menakar nilai ekonomis agunan, prospek penyaluran kredit untuk usaha mikro dan kecil bakal semakin pelik.

Bank-bank juga beralasan minimnya penyaluran kredit lebih disebabkan rendahnya permintaan. Rendahnya permohonan kredit sebagaimana dinyatakan kalangan perbankan sebenarnya lebih mengarah pada kalangan pengusaha menengah-atas. Dengan hitungan-hitungan besarnya peluang dan kondisi nasional yang diwarnai pilpres, kalangan tersebut tentu lebih berhati-hati dalam berpikir dua kali untuk mengajukan aplikasi. Sementara, permohonan kredit pelaku UMKM sebenarnya tetap stabil. Buktinya, BRI sebagai bank yang erat terlibat dalam penyaluran kredit mikro justru tahun ini sukses membukukan laba besar dan melampaui BCA sebagai bank terbesar ke-2 di Indonesia.

Tetapi, dengan kondisi bunga pinjaman yang tetap tinggi, pengusaha kecil terpaksa mengurungkan niat. Sandiaga Uno, wakil ketua KADIN Indonesia (Kompas.com, 11/6) menjelaskan, justru seharusnya bank atau pemerintah memberikan suku bunga yang lebih kecil kepada pelaku UMKM dibanding pelaku bisnis besar yang hanya dikenai suku bunga pada kisaran 10 persen hingga 12 persen.


Siapa Motor Penggerak

Menyadari keengganan kalangan perbankan ini, diperlukan adanya motor pendorong turunnya suku bunga dari luar kalangan bank. Motor penggerak itu bisa berasal dari bank sentral (BI), pemerintah, dan media massa. Ketiganya memiliki pengaruh dan kekuatan khas yang bisa memberi efek pressure kepada kalangan perbankan.

Pemerintah tidak bisa secara langsung mencampuri kebijakan perbankan. Yang berperan utama dalam intermediasi perbankan adalah Bank Indonesia sebagai bank sentral. Setelah suku bungan acuan yang ditetapkan BI tidak berefek besar pada bank-bank nasional, BI perlu menekan bank secara langsung maupun tidak langsung. Perangkat hukum bisa dimanfaatkan dalam kondisi ini.

Sebagai tekanan langsung, BI bisa merumuskan batas maksimal suku bunga kredit dalam perbandingan dengan BI Rate sebagai standar. Dengan adanya ceiling ini, ruang gerak perbankan untuk menetapkan bunga kredit yang tinggi dapat dibatasi. Dengan cara ini, fluktuasi BI Rate benar-benar berfungsi sebagai nilai acuan dan langsung berdampak pada kebijakan bunga tiap bank. Selain itu, BI pun memiliki hak untuk menjatuhkan sanksi (right to impose sanction) bagi bank-bank yang melanggar ketetapan tersebut.

Tekanan tidak langsung dapat diberikan BI, misalnya, dengan menetapkan batas dana yang disimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dana kebanyakan bank dengan sengaja ‘ditidurkan’ di SBI. Adanya pembatasan dana di SBI bisa mempengaruhi perbankan secara tidak langsung untuk menyalurkan ‘dana tidur’ mereka sebagai pinjaman bagi pihak ketiga.

Mengingat banyaknya bank swasta terkemuka sudah dikuasai pihak asing, pemerintah pun perlu mengeluarkan batasan prosentase kepemilikan saham perbankan yang jelas. Pemilik asing tentu ingin meraup untung secepatnya dari apa yang diinvestasikan. Hitung-hitungan soal ekonomi nasional kurang diperhitungkan. Karena itu, tidak heran bila dorongan pemerintah dan BI serta keluhan berbagai kalangan untuk menurunkan suku bunga tidak diindahkan. Penurunan BI Rate pun tidak berpengaruh besar karena profit oriented & profit target yang dipegang erat oleh bank-bank swasta tersebut melampau kepentingan yang lain. Sudah saatnya BI memikirkan adanya aturan yang jelas mengenai kepemilikan pihak asing, sebagaimana yang lazim diterapkan negara-negara lain.

Pemerintah pun dapat berperan dengan memberikan berbagai insentif bagi perbankan. Langkah yang sudah dilakukan dengan menyerahkan pengelolaan cash management sejumlah kementerian beranggaran besar kepada sejumlah bank telah cukup membantu. Insentif lain yang bisa dipertimbangkan pemerintah adalah tidak mengharuskan perbankan melaksanakan program CSR. Program-program sosial dialihkan pada dukungan bagi pengusaha kecil. Apalagi program CSR perbankan selama ini lebih bertendensi promosi untuk menarik konsumen. Bank-bank seolah-olah menerapkan prinsip rauplah keuntungan sebesar-besarnya dalam berbisnis, dengan cara apapun, recehannya bisa ditebar melalui CSR. Dengan demikian CSR acapkali terlihat sebagai penetral ketamakan bank.

Unsur ketiga yang dapat memberikan tekanan adalah media massa. Pemberitaan seputar dampak kebijakan suku bunga kredit bagi perekonomian nasional serta dilansirnya keluhan berbagai kalangan terkait tingginya bunga pinjaman bisa berdampak pada luluhnya ketegaran hati pihak perbankan. Tekanan yang demikian sejauh ini masih kurang dilakukan media. Bila dibandingkan dengan berita positif tentang bank, berita negatif terkait bank-bank di Indonesia masih sangat kurang. Justru pandangan negatif lebih sering tertunga melalui surat pembaca dan sebagian kecil artikel opini. Peran sebagai kekuatan demokrasi keempat perlu diwujudkan oleh kalangan media nasional demi menyelamatkan ekonomi nasional.

Siapa yang akan menjadi motor penggerak? Kita mengharapkan ketiga kekuatan yang memiliki pengaruh langsung terhadap dunia perbankan tersebut untuk bersikap proaktif. Meski demikian, harapan utama akan penurunan suku bunga tetap diletakkan pada bank-bank nasional itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar