Rabu, 12 Agustus 2009

Isu & Spekulasi yang Menyertai Krisis, Siapa yang Salah


Dalam pernyataan persnya, Sabtu (8/8) sore, selain memuji kinerja Polri dan memberikan apresiasi kepada semua pihak yang mendukung operasi pemberantasan teroris, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyampaikan peringatan khusus bagi media massa. Media diminta untuk tidak mendahului aparat terkait berbagai spekulasi dan isu yang meresahkan publik.

Media memang berandil dalam perkembangan berbagai isu dan spekulasi melalui pemberitaannya. Namun, apakah media menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas muncul dan berseliwerannya rumor? Ataukah ada pihak lain yang lebih bertanggung jawab atas atas masalah ini?

Problem Komunikasi Krisis

Sentilan Presiden tersebut sebenarnya menguak suatu problem laten yang telah lama berlangsung di negeri ini. Problem tersebut adalah penanganan komunikasi krisis. Lembaga-lembaga yang terkait dalam suatu krisis atau situasi darurat tertentu acapkali tidak mampu menata alur dan pola informasi yang efektif dan beretika, baik kepada pemangku kepentingan (stakeholders) utama, media massa, maupun publik secara umum. Sedikit menengok pada beberapa contoh kasus (baca: krisis) yang terjadi pada pekan-pekan terakhir, masalah serupa dalam konteks yang berbeda akan terlihat jelas. Dari kasus gugatan pemilu (pemilu legislatif maupun pemilu presiden), penembakan di sekitar lokasi penambangan emas PT Freeport, Papua, peristiwa pengeboman dua hotel mewah di Jakarta, hingga jatuhnya pesawat twin otter Merpati Airlines di Papua, simpang siurnya informasi, rumor, dan spekulasi muncul tak terkendali.

Mengapa hal itu terjadi? Media tentu bisa dituntut jika ‘meniupkan’ isu tanpa didasarkan pada informasi dari sumber yang jelas, dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Namun, ketika isu dan spekulasi tersebut didasarkan pada informasi dari sumber yang kredibel, memiliki kapasitas di bidang krisis terkait, apalagi jika informasi berasal dari sumber resmi atau bocoran dari kalangan internal lembaga terkait, maka penanggung jawab utama berkembangnya rumor semestinya ada di tangan tim komunikasi krisis.

Di satu sisi, kemajuan teknologi dan kinerja media massa negeri ini meningkat pesat. Hal ini tergambar, misalnya, dari kecepatan memperoleh berita dan mengidentifikasi kasus, kemampuan investigasi dan menembus narasumber terkait. Di sisi lain, kemajuan media belum mampu diimbangi kecekatan dan profesionalitas tim penanganan dan komunikasi krisis berbagai organisasi dan lembaga (pemerintahan maupun non pemerintahan) di Indonesia. Alhasil, imbasnya menyeruak dalam problem laten kehumasan, yakni kegagapan sekaligus kelatahan komunikasi krisis.

Kegagapan dan Kelatahan Komunikasi

Kedua problem tersebut – kegagapan dan kelatahan komunikasi krisis - sebenarnya menggambarkan adanya persoalan terkait efektivitas dan etika komunikasi yang mengedepankan sense of crisis. Kecepatan dan ketepatan informasi penaganan krisis menjadi parameter efektivitas suatu komunikasi krisis. Dengan kata lain, komunikasi krisis yang efektif mengandaikan kemampuan untuk menyajikan informasi yang dibutuhkan pada waktunya. Kegagalan dalam membangun komunikasi yang efektif inilah yang seringkali muncul dalam bentuk kegagapan dalam menyajikan informasi ke publik dan/atau media massa. Dalam kasus operasi antiteror, misalnya, kegagapan itu bisa saja muncul bila pihak terkait dipandang telah keliru dalam mengidentifikasi target operasi yang telah dinyatakan sebelumnya.

Sementara itu, aspek etika berhubungan dengan pola komunikasi/pendekatan yang berbeda terhadap para pemangku kepentingan (stakeholders) utama, media, dan publik umum dalam setiap krisis. Contoh yang kerap terjadi dan patut disayangkan adalah pihak keluarga korban mendapat berita duka mengenai anggota keluarganya secara tak terduga melalui media massa, bukan dari pendekatan resmi dan personal pihak organisasi/lembaga yang berwewenang. Contoh lain, dalam kasus operasi antiteror, berbagai informasi mengenai detil operasi bisa disampaikan sumber internal tanpa kontrol yang memadai sebelum informasi resmi diberikan, meski imbasnya bisa kontraproduktif.

Kegagalan dalam mengendalikan kedua alur informasi di atas itulah yang dimaksud dengan kelatahan dalam komunikasi krisis. Dari sinilah asal-muasal berbagai isu dan spekulasi negatif

Mengantisipasi dan Mengendalikan

Jika dirunut lebih jauh, akar permasalahan munculnya kegagapan dan kelatahan komunikasi tersebut adalah tidak terpenuhinya tiga tahap dasar dalam komunikasi krisis, yaitu perencanaan, penanganan, dan evaluasi. Dalam artikelnya “Managing a Media Crisis”, Susan Solomon, pengajar dan praktisi komunikasi asal AS, menekankan dua kata kunci yang menyatukan ketiga tahap tersebut adalah “mengantisipasi (anticipating) dan mengendalikan (controlling)”.

Perencanaan komunikasi krisis dengan sendirinya mengandung makna antisipasi. Dalam tahap ini, mengantisipasi dapat diartikan sebagai kesadaran bahwa masalah, kasus, dan bencana bersifat omnipresent, dapat terjadi kapan dan di mana pun. Karena itu kesiapsiagaan dan persiapan dini perlu dilakukan.

Pada tahap penanganan, mengantisipasi merujuk pada upaya dan rancangan informasi serta data yang disampaikan kepada setiap pihak terkait. Potensi terburuk dari situasi darurat dan adanya disonansi (tegangan) antara berbagai kepentingan pun perlu diantisipasi pada fase ini. Sedangkan pada tahap akhir (evaluasi), mengantisipasi menunjukkan adanya kesiapsiagaan untuk menghadapi segala bentuk situasi emergensi atau krisis yang mungkin terulang.

Kata kunci kedua, mengendalikan, dapat diterapkan dalam konteks tahapan yang sama. Pengendalian komunikasi krisis menjadi panduan (guideline) dalam tahap persiapan, upaya dan fakta pada tahap penanganan, serta data dan sasaran (goal) pada tahap evaluasi krisis.

Problem kegagapan maupun kelatahan komunikasi saat terjadi situasi darurat mengindikasikan kurangnya kemampuan mengantisipasi dan mengendalikan krisis. Bahkan, bisa jadi banyak organisasi dan lembaga di Indonesia belum memiliki manajemen krisis atau pun rancangan komunikasi krisis. Imbasnya sangat jamak terlihat dalam komunikasi yang tidak efektif dan beretika. Pola komunikasi yang muncul kemudian, misalnya, membatasi akses informasi, keterlambatan informasi, misinformasi, tegangan dengan pihak stakeholders maupun media, keterangan yang berbeda dari berbagai pihak terkait, hingga rumor-rumor yang tak terkendalikan.


Media Massa sebagai Partner Komunikasi

Komunikasi krisis bertautan erat dengan peran media massa. Media massa adalah salah satu partner utama bagi tim komunikasi krisis. Media merupakan pihak yang mempublikasikan hitam-putihnya fakta di lapangan sekaligus perkembangan terakhir (update) penanganan krisis. Media pula yang menyajikan berbagai tanggapan balik, reaksi pemangku kepentingan dan publik atas krisis yang terjadi serta penanganannya. Sayangnya, yang seringkali terjadi adalah kekeliruan persepsi (misperception) dan para pencari berita lebih dipandang secara negatif oleh pelaku komunikasi krisis. Tugas pewarta untuk mempublikasikan data dan informasi krisis dianggap sebagai pengganggu langkah operasi penanganan. Tak heran bila sebutan berkonotasi minus, seperti “nyamuk pers” dan penyebar isu, kerap dilekatkan pada kalangan jurnalis.

Tepat pada titik inilah alarm kegagalan komunikasi krisis yang efektif dan beretika layak dibunyikan. Ketidakmampuan dalam mengantisipasi dan mengendalikan alur komunikasi krisis hendak dilemparkan kepada pihak yang semestinya dipandang sebagai rekan kerja. Ketiadaan persiapan penanganan berdampak pada kegagapan dalam mengkoordinasikan dan menyajikan informasi serta data krisis kepada pihak media. Alhasil, komunikasi dan kerjasama efektif yang semestinya terjalin dengan pihak media gagal dibangun. Sebaliknya, ketidakpahaman akan tugas media dalam mencari informasi berakibat pada penyajian informasi yang tak terkontrol (kelatahan).

Efektif dan Beretika

Situasi darurat, kasus, dan bencana dapat terjadi kapan pun dan di mana pun. Untuk bisa mengantisipasi dan mengendalikan situasi tersebut dibutuhkan sistem yang telah disiapkan sebelum, termasuk skema umum komunikasi krisis. Kesiapsiagaan menghadapi krisis tersebut diharapkan mampu menjembatani komunikasi krisis yang efektif dan beretika yang menjadi kendala banyak lembaga dan organisasi di negara ini. Kredibilitas pihak/lembaga terkaitlah yang dipertaruhkan di hadapan publik dalam hal kesalahan komunikasi krisis, dan bukannya kredibilitas media. Media justru mendapat kredit poin dari pembaca untuk kemampuan investigasinya dan keakuratan berita yang dilansir.

"...If you don’t announce bad news yourself, the media will find someone who will say something, and that source will not likely know all the facts or properly communicate your point of view" (Jeffrey A. Davis, praktisi Komunikasi pada Sawmill PR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar