Selasa, 07 Juli 2009

Putusan MK dan Implikasinya

Izin Penggunaan KTP/Paspor

Perputaran roda politik bergulir cepat seiring mendekatnya waktu pemilihan presiden (pilpres). Pekan terakhir menjelang hari H, percepatan denyut nadi politik ini ditandai dengan tuntutan perubahan DPT. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi king maker sekaligus sorotan utama media hari ini (Selasa, 7/7), sehari menjelang pilpres 8 Juli 09. Keputusannya membolehkan penggunaan KTP dan paspor (WNI di luar negeri) bagi pemilih yang tidak masuk daftar pemilih tetap (DPT) melegakan banyak pihak karena dianggap menyelamatkan hak konstitusional & HAM warga negara.
Namun, putusan tersebut juga menyisakan sejumlah potensi masalah. Bukan hanya KPU dan Bawaslu yang kelimpungan oleh implikasi keputusan tersebut, kemungkinan merebaknya masalah itu juga mengkhawatirkan berbagai pihak, termasuk pihak yang mendorong perubahan DPT. Potensi masalah tersebut, antara lain:
1. kecukupan surat suara;
2. perkiraan distribusi jumlah “Pemilih KTP/Paspor”;
3. KTP hanya bisa digunakan di TPS sesuai alamat yang tertera;
4. peluang dua kali memilih;
5. potensi mobilisasi pengurusan KTP oleh tim sukses capres;
6. potensi kecurangan di PPS dan PPK - data valid jumlah pemilih;
7. waktu sosialisasi & koordinasi terbatas;
Alhasil, harapan akan berlangsungnya pemilihan umum presiden yang tertib, aman, dan lancar, masih bisa dipertanyakan. Kekacauan di hari pencontrengan, besok (8/7), sangat mungkin terjadi.

Masalah pertama, Ketersedian/kecukupan surat suara. KPU menerbitkan surat suara untuk pilpres dalam jumlah yang sesuai dengan ketentuan Pasal 108 UU No 42/2008, yang memberikan acuan surat suara dicetak sesuai jumlah DPT ditambah dua persen; Dengan jumlah kertas suara cadangan hanya dua persen, diperkirakan stok di tiap TPS hanya sejumlah beberapa lembar. Upaya produksi tambahan dibatasi oleh asas legalitas (butuh Perppu) dan limit waktu (tinggal sehari). Reaksi ketidapuasan tentu bisa muncul dari mereka yang tidak kebagian surat suara/tidak ikut memilih. Harapan akan tidak terjadinya potensi kekisruhan dalam kasus ini mungkin bisa diletakkan pada persentase golput yang berimbang. Merujuk pada persentase golput pada pileg April lalu yang mencapai angka 39 persen, perimbangan angka golput dengan pemilih yang menggunakan KTP minus malum bisa menjadi harapan alternatif agar tidak terjadi polemik di TPS.

Masalah kedua berkaitan erat dengan yang pertama, yakni sulitnya memperkirakan TPS atau lokasi mana yang memiliki tingkat pemilih non-DPT lebih besar. Ini adalah masalah pelik KPU dan jajarannya dalam rangka mengantisipasi alokasi jumlah surat suara lebih. Besarnya jumlah pemilih yang tidak memperoleh hak pilih di satu TPS akan lebih mudah memancing kekisruhan.

Ketiga, KTP hanya bisa digunakan sesuai alamat yang tertera dan dilampiri kartu keluarga (KK). Ada dua problem yang muncul dari ketentuan ini. Problem pertama adalah mereka yang memiliki alamat KTP berbeda dengan tempat tinggal saat ini, apalagi bila jarak antar kedua tempat tersebut berjauhan, mereka kemungkinan akan ogah-ogahan menggunakan haknya alias cenderung golput. Masalah ini diingatkan oleh Direktur Eksekutif Cetro Hadar Navis Gumay (Koran Sindo, hal.11). Problem berikutnya diungkapkan Anggota KPU I Gusti Putu Artha soal kemungkinan penguasaan TPS oleh pasangan calon (Koran Tempo, hal. 2). Hal ini memungkinkan seseorang memilih di dua TPS berbeda di alamat yang sama.

Keempat, terbuka kemungkinan untuk memilih dua kali atau lebih. Potensi bisa muncul terkait masalah ketiga di atas. Ini juga memungkinkan bagi mereka yang memiliki KTP lebih dari satu, sebagaimana diutarakan Prof Jimly Ashiddiqie (Republika, hal.1). Meskipun KPU telah menetapkan jam pencoblosan bagi pemilih non DPT, yakni antara 12.00 – 13.30 waktu setempat, potensi dua kali mencoblos masih dimungkinkan. orang yang memiliki KTP lebih dari satu dan sudah masuk DPT di satu wilayah masih bisa mendaftar sebagai pemilih non-DPT di TPS lainnya pada jam yang ditentukan. Kecermatan, kerja keras dan koordinasi antar KPPS sangat dibutuhkan dalam hal ini. Selain itu, tinta yang dipakai untuk menandai jempol pemilih harus berkualitas baik. Pihak Bawaslu mengingatkan secara khusus langkah antisipatif tersebut (Koran Sindo, hal.1). Tapi, bila merujuk pada kualitas tinta pada pileg, kembali kita hanya bisa harap-harap cemas, semoga langkah curang itu tidak terjadi.

Masalah kelima, potensi mobilisasi pengurusan KTP oleh tim sukses capres. Langkah untuk meningkatkan jumlah suara ini bisa saja dipilih tim sukses capres. Kecermatan pihak PPS & KPPS untuk mengamati secara teliti data terbitnya KTP bisa menjadi pencegah terhadap modus ini. Para saksi kiranya perlu dilibatkan dalam verifikasi atas keabsahan KTP tiap pemilih non DPT.

Keenam, potensi kecurangan di tingkat PPS dan PPK, terutama pada tahap penghitungan suara atau rekapitulasi. Potensi ini diperingatkan oleh Jusuf Kalla, capres dari koalisi Partai Golkar dan Partai Hanura. Mengingat adanya kemungkinan tambahan jumlah pemilih yang belum bisa diperkirakan alias tidak adanya data valid pemilih, peluang kecurangan dalam rekap suara sangat mungkin terjadi bila tidak dikawal secara ketat.

Masalah ketujuh, terbatasnya waktu sosialisasi dan koordinasi. Sosialisasi putusan MK hanya dalam waktu sehari sudah dinyatakan Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary sebagai tugas yang sangat berat. Kerjasama dengan pemda dan pihak media sangat diharapkan demi terbantunya proses ini dalam limit waktu yang sangat mepet. Tapi, selain KPU, Bawaslu dan jajarannya juga dibuat pening dalam langkah koordinasi. Segala bentuk strategi antisipasi atas dampak negatif putusan MK masih membutuhkan koordinasi antarlini hingga tingkat terbawah. Seluruh petunjuk teknis yang menjadi langkah penyesuaian atas putusan MK akan sulit dilakukan KPU dan Bawaslu ke jajaran terbawahnya, terutama untuk daerah-daerah pelosok.

Implikasi positif dari keluarnya putusan terbaru MK adalah semua pihak bersyukur karena hak pilih rakyat telah diselamatkan oleh M Mahfud MD dan jajaran hakim konstitusi. Namun, melihat potensi-potensi yang ada, masih ada PR yang tersisa dan pilpres besok diperkirakan masih rawan kekisruhan. Kerja keras, ketelitian dan koordinasi KPU-Bawaslu dan jajarannya menjadi syarat mutlak. Selain itu, itikad baik semua pihak terkait sangat dibutuhkan demi kelangsungan pilpres yang aman, tertib, dan lancar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar